Selasa, 18 Januari 2011

Pemikiran dan Perjuangan K.H.E. Abdurrahman dalam Konteks Sejarah Pembaharuan Islam di Indonesia


Ustadz K.H.E. Abdurrahman dalam penilaian Howard M. Federspiel (1970:158) adalah sosok ulama organisatoris, Abdurrahman yang telah lama bergumul bersama lembaga pendidikan Persatuan Islam di Bandung, kemudian menjadi Sekretaris jenderal setelah perang kemerdekaan, dan pada tahun 1962 menggantikan Isa Anshary sebagai Ketua Umum telah memperlihatkan kemampuan organisatoris yang luar biasa dalam menggerakan persatuan Islam selama periode yang penuh dengan ketidakstabilan politik dan kemerosotan ekonomi.

Pembaharuan Persatuan Islam sejak generasi awal hingga kepemimpinan ustadz K.H.E. Abdurrahman yang menyangkut praktik-praktik peribadatan tertentu menurut Federspiel (1970:246-248) memberikan sumbangan bagi penguatan pemikiran dan tingkah laku kaum muslimin sunni di Indonesia. Penyampaian khutbah dalam bahasa lokal dimaksudkan untuk memperdalam pengetahuan umat Islam mengenai agama, yang merupakan target para ulama. Pembaharuan dalam praktek penguburan bertujuan untuk memisahkan kepercayaan dan praktik Islam yang mendasar dari adat kebiasaan dan ajaran kuno yang telah menjadi bahan pertentangan di kalangan ulama selama berabad-abad. Tuntutan bahwa pembacaan niat ditinggalkan dari ibadah dimaksudkan untuk membersihkan upacara keagamaan dari praktik yang sebetulnya tidak diperintahkan dalam Alquran dan Sunnah.

Persatuan Islam menyatakan bahwa segala sesuatu di luar masalah ibadah diizinkan oleh Islam apabila tidak ada larangan secara khusus. Prinsip seperti ini ditafsirkan secara luas dalam berbagai bidang, misalnya ekonomi, kedokteran, dan ilmu pengetahuan modern. Bagi Persatuan Islam, kitab suci merupakan otoritas final menyangkut apa yang boleh dan tidak boleh diterima.

Bagaimanapun, Persis sejak awal berdirinya hingga berada di bawah kepemimpinan K.H.E. Abdurrahman telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam gerakan pembaharuan Islam di Indonesia. Nilai persatuan Islam menurut Pederspiel (1970) sebagai sebuah topik bagi penelitian ilmiah tidak terletak pada organisasinya; karena ia kecil dan tidak kukuh, juga tidak terletak pada di dalam kehidupan politik Indonesia, karena aktivitasnya bersifat insidental dan pinggiran bagi arus utama perkembangan politik. Walaupun perannya dalam pendidikan agama memberikan pengaruh kepada ummat Islam Indonesia, tetapi ia jauh lebih tidak berpengaruh dibandingkan dengan organisasi-organisasi lain. Demikian pula penerbitannya cukup berpengaruh pada waktu itu, tetapi sedikit memperoleh sambutan dan pembaca di kalangan masyarakat Indonesia secara umum.

Meski demikian, Persis penting dikaji dikarenakan ia telah berusaha untuk mendefinisikan Islam yang sebenarnya, apa prinsip dasar agama Islam, dan bagaimana sebenarnya perilaku religius yang tepat bagi umat Islam. Dalam hal ini, Persis telah menghindari konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi yang kabur. Persis mirip dengan berbagai gerakan Islam Indonesia lainnya, karena memiliki persamaan perhatian. Persis terasa penting karena memberikan solusi-solusi tersendiri bagi problem-problem besar yang menghadang umat Islam Indonesia abad 20. kesemuanya itu tidak terlepas dari para ulama Persis sejak pendirinya H. Zamzam dan Haji Muhammad Yunus, kemudian dikembangkan dengan dasar-dasar dontrinal di jaman Ahmad Hassan dan Muhammad Natsir. Keterlibatannya dalam politik praktis di pinggiran pentas politik nasional di pacu dibawah kepemimpinan Isa Anshary, namun mulai melemah di jaman K.H.E. Abdurrahman. Dan nampaknya, gaya kepemimpinan K.H.E. Abdurrahman telah mengembalikan Persis pada garis perjuangannya; tabligh dan pendidikan berdasarkan Alquran dan Sunnah.

Dalam hal ini, sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara (1997:7) memberikan penilaian terhadap sosok K.H.E. Abdurrahman; pertama, K.H.E. Abdurrahman sebagai pemegang amanah berusaha menyeberangkan Persatuan Islam di tengah badai Nasakom dengan gaya dan cara mempertahankan eksistensi dengan perwujudan melestarikan amanah para pendiri dan pendahulu Persis sebagai organisasi dakwah; kedua, K.H.E. Abdurrahman sebagai penyelamat Persatuan Islam tidak berpartisipasi menerima nasakom pada masa Orde Lama, sebagaimana organisasi lainnya yang membuka diri sebagai pendukung nasakom tanpa reserve; ketiga, K.H.E. Abdurrahman memilih intensifikasi dan konsolidasi ke dalam organisasi Persis, daripada ekstensifikasi yang melemahkan kontrol organisasi; dan keempat, K.H.E. Abdurrahman menampilkan sikap kepemimpinan yang istiqamah, mempertahankan Persis sebagai organisasi dakwah, dan tidak membenarkan Persis berganti nama atau busana; ia lebih mengutamakan Persis sebagai organisasi kualitas yang berpengaruh besar.

Dalam konteks sejarah pembaharuan Islam di Indonesia, kepemiminan K.H.E. Abdurrahman dalam jam'iyyah Persis lebih cenderung memperkuat peran, fungsi, dan kedudukan Persis sebagai organisasi yang berjuang mengembalikan ummat kepada Alquran dan Sunnah sejak awal melalui pendidikan, dakwah, tabligh, dan publikasi yang terbatas. Nilai Persis memang bukan terletak pada organisasinya, tetapi pada upaya penyebaran fahamnya; yang diakui atau tidak telah menambus batas-batas organisasinya sendiri – organisasinya tidak dikenal luas, tetapi fahamnya telah menembus batas-batas kekakuan dan kekaburan pemahaman keislaman di Indoensia.

1 komentar:

  1. di tahun 1963 - 1964 sering saya ke rumah beliau di gang hassan no.2.
    sesungguhnya saya berkenalan erat dengan kang anis, junus anis Allah yarhamuh kadang2 sendirian kadang dengan seorang mualaf bernama alex sularto untuk belajar tentang dien islam.
    kalau di depan rumahnya motor bmw nya ada maka saya suka sekali karena "apa" ada di rumah. seingat saya saya satu2nya yang di anjurkan memanggil beliau dengan apa yang pada awwal2nya sebagaimana yang lain juga memanggil beliau ustadz.
    sampai sekarang satu hal yang masih terngiang2 di benak saya jawaban beliau ketika saya bertanya menganai al-isra dan mi'raj. pertanyaan saya adalah di dalam al-quran di sebutkan dari masjid haram ke masjid aqsha, padahal sama sekali ketika itu tidak ada mesjid al-aqsha.
    beliau menjawab, itulah hakikat mu'jijat dan bukti kebenaran al-quran.
    bukankah setelah itu di tepat tersebut di bangunnya mesjid al-aqsha?
    paralel dengan surat al-masad, sesndainya abu lahab masuk islam maka hancur al-quran. apakah abu lahab bodoh? bukankah dia sering bersembunyi sembunyi hanya untuk mendengarkan bacaan al-quran yang di lantunkan rasulu-lLah SAW?
    pelajaran yang seumur hidup tak akan saya lupakan.
    اللهم اغفر له وارحمه واعف عنه وعافه، وأكرم نزله ووسع مدخله، واغسله بالماء والثلج والبرد، ونقه من الخطايا كما ينقى الثوب الأبيض من الدنس، وأبدله داراً خيراً من داره وأهلاً خيراً من أهله وزوجاً خيراً من زوجه، وقه فتنة القبر وعذاب النار.

    BalasHapus