Selasa, 18 Januari 2011

KHM. Rusyad Nurdin



Editor : Ahmad Jack

M. Rusyad Nurdin dilahirkan pada hari Selasa 17 April 1918 M di kampung Baruh Gunung, Kecamatan Suliki, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat.
Waktu ia masih kecil, sebelum sekolah, di kampungnya ada surau kecil yang dikenal dengan sebutan Surau Baru. Surau itu dibangun oleh seorang ulama bernama Kiayi H. Ahmad, sekembalinya dari menunaikan ibadah haji. KH. Ahmad dikenal sebagai ulama dari kaum golongan muda.
Surau Baru itu sangat makmur pada waktu itu, boleh dikatakan tidak pernah sunyi dari kegiatan-kegiatan keagamaan, lebih-lebih pada bulan Ramadhan. Surau itu juga merupakan sebuah pesantren dan banyak santrinya. KH. Ahmad dibantu oleh tenaga-tenaga muda dalam memberikan ajaran agama.
Namun, setelah KH. Ahmad wafat, Surau Baru perlahan mengalami kesepian. Bangunannya kian usang dan doyong. Kegiatan keagamaan mulai padam. Tak ada yang meneruskan jejak usaha KH. Ahmad, baik putera-puteranya maupun cucu-cucunya.

Saat masuk sekolah, M. Rusyad dimasukan ke Sekolah Rakyat HIS (Hollands Inlandse School), sekolah Belanda untuk anak-anak bumi putera. Tujuan ayahnya memasukannya ke HIS agar kelak ia dapat mengikuti jejak ayahnya sebagai Kepala Sekolah, atau kalau bisa mendapat jabatan yang lebih tinggi sebagai pegawai Gubernement.
Rusyad kecil tidak tahu buat apa ia sekolah. Tak satu pelajaran pun yang ia senangi, kecuali menulis dan menggambar. Bahasa Belanda pelajaran yang amat tidak disukainya. Ayahnya sering memarahinya dan memaksanya belajar malam, sedikitnya dua jam, dibawah pengawasan langsung ayahnya. Berkat pengawasan ketat itulah ia berhasil menamatkan HIS.
Tak berapa jaun dari rumahnya ada sebuah surau. Di situ ada pemuda-pemuda menuntut ilmu agama, diantaranya Zulkarnain dan Zamzami Kimin. Pada waktu-waktu tertentu, kedua pemuda tersebut sering main kerumah Rusyad Nurdin yang masih terikat kerabat. Melihat pemuda-pemuda itu, sang ibu ingin Rusyad seperti mereka, belajar agama dan menjadi ustadz. Keinginan ini sering diutarakan langsung kepada Rusyad. Rusyad hanya tersenyum menanggapi keinginan ibunya ide, dalam hati ia bergumam, “Menjadi pegawai Gubernemen saya tak mau, apalagi menjadi guru agama, menjadi ustadz!”.
Rupanya karena keinginan ibunya itu, Rusyad disuruh belajar agama, belajar membaca Al-Quran. Mula-mula ia belajar kepada seorang ustadz bernama Ustadz Idris. Tapi ia belajar hanya sebentar dan langsung minta berhenti, alasannya karena ustadz itu terlalu bengis. Hanya karena salah membaca satu huruf, ia sering dibentak dan kakinya dipukul dengan rotan sampai bengkak. Sesudah itu ia belajar pada Ustadz Muchtar. Orangnya lembut dan ramah. Dari ustadz Muchtar, Rusyad mendapatkan pelajaran dasar membaca Al-Quran.
Waktu Rusyad duduk di kelas 5, ayahnya dipindahkan sebagai Penilik Sekolah (School-opziener) ke Sungaipenuh. Maka Rusyad dan dua adiknya, Anwar dan Thursina, masing-masing duduk di kelas 4 dan kelas 3 HIS pindah ke Padang. Rusyad sendiri tinggal di rumah kakak tertuanya, Husin Sutan Mudo, yang pada waktu itu mengajar di Sekolah Roomsch Katholiek.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di HIS ia kemudian melanjutkan studinya ke Kelas Persiapan (voorklas) MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang. Semua gurunya orang Belanda. Rusyad Nurdin semakin tidak betah saja di sana. Ia muak mendengar guru-guru Belandanya berkata-kata dalam bahasa Belanda.
Baru sebulan duduk di bangku sekolah MULO, kakaknya pindah ke Payakumbuh untuk mengajar di Sekolah Schalkel Muhammadiyah (sederajat HIS). Rusyad dititipkan pada seorang teman kakaknya, Bapak Amarullah, guru HIS Adabiyah (swasta). Dua bulan setelah itu, Rusyad pindah ke MULO Bukit Tinggi dan tinggal bersama seorang paman, Ilyas Datuk Tunggak, pegawai kantor pos.
Di Bukit Tinggi, Rusyad Nurdin sedikit demi sedikit mempelajari agama, terutama waktu kakak iparnya D.P. Sati Alimin datang mengunjunginya. D.P. Sati Alimin adalah suami kakaknya, Jami’ah dan sekarang menetap di Payakumbuh. Sati Alimin bercerita tentang seorang sahabatnya, Bapak Muhammad Natsie, yang tinggal di Bandung (Jawa Barat) dan mendirikan Perguruan “Pendidikan Islam” yang meliputi sekolah-sekolah HIS, MULO dan Kweek School (sekolah guru). Satimin memberinya majalah Pembela Islam yang diterbitkan oleh Persatuan Islam di Bandung. Di dalam majalah itu terdapat tulisan-tulisan A. Hassan, Mohammad Natsir, Fachruddin Alkahiri, D.P. Sati Alimin dan banyak lagi pemimpin-pemimpin Islam yang lain tentang agama, politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain yang menarik perhatian Rusyad Nurdin.
D.P Sati Aliminlah yang pertama mencoba mengarahkan jalan hidup Rusyad Nurdin kepada agama. Ia menganjurkan supaya Rusyad mau melanjutkan pelajaran ke MULO dan Kweekschool “Pendidikan Islam” (Pendis) di Bandung.
Anjuran itu diterima Rusyad. Ia pun berniat pegi ke Bandung untuk melanjutkan studi.

Masa Pendidikan di Sekolah Menengah
Dengan do’a restu orang tua dan keluarga, Rusyad Nurdin berangkat meninggalkan Pulau Sumatra menuju Pulau Jawa dan terus ke Bandung, dimana terdapat sebuah perguruan “Pendidikan Islam” (Pendis) yang meliputi sekolah-sekolah HIS, MULO dan Kweekschool (sekolah guru). Karena di Bandung tidak ada keluarga tempat menumpang, ia tinggal di asrama, Internaat Kabupaten, khusus tempat penampungan pelajar-pelajar sekolah menengah, baik pemerintah maupun swasta. Tempatnya di jalan Balonggede ( SMA Pasundan sekarang).
Rusyad Nurdin masuk MULO “Pendis” dan diterima di kelas satu. Guru-gurunya diantaranya Muhammad Natsir, Fachruddin Alkahiri, Ir. Indera Tjahja, Ir. Tjoa, Prof. S.M. Abidin, dan yang lainnya, mereka dari A.M.S. (Algemen Middelbare School), T.H.S. (Technisch Hooge School). Adapun guru-guru yang mengajar agama diantaranya Ustadz Soelaeman Abu Su’ud, KH.E. Abdurrahman dan Ustadz A. Hassan, yang memberikan pelajaran agama pada malam hari sebagai pelajaran tambahan yang diselenggarakan oleh Pemuda Persatuan Islam. Adapun guru melukis dan musik ialah Nurdin dari Kayutaman (Sumatera Barat).
Pada hari pertama upacara penerimaan murid-murid baru antara lain yang memberikan sambutan adalah Muhammad Natsir. Ia menjelaskan tentang ideologi pendidikan Islam (Het Islamietisch Paedagogische Ideal). Diantara ucapannya yang melekat kuat di ingatan Rusyad Nurdin adalah:
“Mentauhidkan Tuhan, mempercayai dan menyerahkan diri kepada Allah adalah merupakan dasar pendidikan kita. Besar bahayanya kalau dasar ini kita tinggalkan dan akan menimbulkan malapetaka baik bagi perorangan maupun bagi bangsa kita serta ummat manusia.”
Ceramah itu disajikan dalam bahasa Belanda yang pasih dan lancar. Rusyad Nurdin merasa heran, kenapa ia tidak bisa memahami bahasa Belanda yang disampaikan langsung oleh guru-gurunya yang orang Belanda, yang mengajar di Voorklas MULO Gubernemen, tapi justru ia mudah memahami bahasa asing itu dari lidah orang Indonesia dalam hal ini “Meneer” Natsir. Rupanya faktor kepribadian seorang guru amat besar pengaruhnya dalam pendidikan. Rusyad Nurdin mengikuti ceramah itu dengan penuh perhatian.
Isi ceramah Pak Natsir waktu itu lebih ditekankan kepada pembinaan akhlak (karakter-vorming). Manusia dinilai menurut akhlaknya dan agama (Islam) merupakan dasar yang kuat untuk pembinaan akhlak itu.
Guru muda (25 tahun) yang berpendidikan barat itu berbicara tentang Islam. Pada wajahnya tergambar satu keyakinan akan kebenaran agamanya, dengan tidak menghiraukan isme-isme yang bertebaran di sekelilingnya. Dengan segala daya yang ada dalam dirinya ia berusaha menarik semua orang yang hadir di hadapannya kepada keyakinan agama Islam yang benar:
“Mari, mari penuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya, jika kita dipanggil-Nya kepada sesuatu yang memberi “hidup” kepada kita. Bukan hanya hidup sekedar bernafas dan bergerak, berpikir dan berkarya, tetapi hidup dalam arti kata yang sesungguhnya, yaitu hidup Ruh dan hidup Jiwa! Sekalipun raga sudah tidak bergerak dan kaku, tetapi ruh masih tetap hidup dalam kebahagiaan yang tiada taranya.
Kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan akhirat.”
Dari sekian banyak yang hadir, Rusyad Nurdin termasuk orang yang ikut tertarik oleh kata-kata syarat makna Bapak Persis itu. Dari ucapan M. Natsir itulah, Rusyad menjadi tahu untuk apa ia belajar!
Dengan tekun dan semangat belajar yang baik, Rusyad Nurdin pun berhasil menyelesaikan studinya di MULO “Pendis” tersebut. Semangat belajarnya masih menyala di dadanya. Dan ia berniat melanjutkan studinya ke tahap yang lebih tinggi.
Setelah tamat dari MULO ia melanjutkan studinya ke Kweekschool Pendis (1936). Di sini ia mempelajari berbagai ilmu pendidikan Islam diantaranya ilmu dakwah, Pedagogi (ilmu pendidikan), psikologi (ilmu jiwa). Pelajar di Pendis ini amat menarik perhatiannya. Pada tahun 1938 dalam usia 20 tahun, ia dapat menyelesaikan pendidikannya.
Selama belajar di Pendis, Rusyad Nurdin menyempatkan diri untuk bergabung dalam organisasi Pemuda Persatuan Islam. Ia menjadi sekretaris Pimpinan Pusat. Disamping itu ia juga aktif di organisasi Jong Islamiten Bond, suatu organisasi pemuda-pemuda Islam yang pada umumnya berpendidikan barat. Mereka mengeluarkan majalah bulanan berbahasa Belanda Het Licht (an-Nur) yang didalamnya antara lain terdapat tulisan-tulisan Syafruddin Prawiranegara, Prawoto Mangkosasmito, Mohammad Roem, Kasman Singodimejo, Sjamsoeridjal, M. Natsir. Majalah itu menyajikan tulisan-tulisan yang membakar semangat terutama generasi muda untuk melawan penjajah Belanda.
Terjun ke Tengah Masyarakat
Ada saat datang, ada saat pergi. Rusyad Nurdin selesai melaksanakan pendidikan di Pendis dalam masa 5 tahun. Selanjutnya ia harus terjun ke tengah masyarakat guna mengamalkan ilmunya.
Berat hati ia meninggalkan Pendis, dimana disitu ia sudah dianggap keluarga oleh Pak Natsir dan Bu Natsir. Dalam hatinya ia ingin tetap tinggal di situ lebih lama lagi.
Kakak iparnya, D.P. Sati Alimin rupanya berkirim surat kepada Pak Natsir. Isi suratnya meminta kepada Pak Natsir supaya Rusyad Nurdin jangan dilepas dahulu, jika dibolehkan ia bisa membantu mengajar di Pendis agar mendapat pengalaman berharga. Usul itu direspon baik, dan Rusyad Nurdin diterima mengajar di HIS Pendis. Kepala sekolahnya Bu Natsir, yang dahulu biasa ia panggil Mevrouw Natsir atau Mevrouw Nurnahar. Anak-anak didik keduanya biasa juga memanggil mereka dengan Abah dan Ummi.
Rusyad Nurdin diberi tugas mengajar di kelas 5 HIS ada yang lucu dalam pandangannya, dimana dulu pada saat sekolah MULO ia paling tidak suka bahasa Belanda, kini ia diserahu tugas mengajar bahasa Belanda. Tapi ia menikmati tugasnya itu.
Pada tahun 1940 telah terjadi perubahan pada Pendis, yaitu MULO dijadikan Kweekschool 4 tahun dan Rusyad Nurdin sempat pula mengajar di Kweekschool itu sampai perguruan itu bubar pada waktu pendudukan Jepang tahun 1942.
Disamping mengajar, Rusyad Nurdin ikut pula terjun ke dunia politik ikut bergabung dalam Partai Islam Indonesia (PII), yang pusatnya di Yogyakarta. Ketua umumnya dr. Sukiman Wirjosanjojo. Ketua PII cabang Bandung adalah Muhammad Natsir. Pada saat itulah Risyad Nurdin mulai belajar masalah-masalah politik. Ia sangat bersemangat menerjuni dunia politik ini, karena memang pada waktu itu tugas utama dari perjuangan ialah membebaskan Indonesia dari penjajahan kolonial Belanda.
Dalam usia 20 tahun, Rusyad Nurdin sudah mulai berdakwah dan memberikan ceramah. Tugas ini dilakukannya hingga akhir hayatnya. Bersama-sama KHM. Isa Anshari, ia menerbitkan majalah bulanan Laskar Islam dan Aliran Islam.
Ba’ bujang jolong berkeris
Di Bandung terdapat sekolah MOSVIA, yaitu sekolah untuk calon Camat. Pada tanggal 17 Januari 1940 murid-murid MOSVIA merayakan hari ulang tahun sekolah mereka yang ke 61. Perayaan itu dimeriahkan dengan mengadakan pertunjukan-pertunjukan, bertempat di gedung Concordia (sekarang gedung Merdeka). Setelah pertunjukan tarian, nyanyian selesai, acara dilanjutkan dengan acara dansa semalaman sampai dini hari.
Tentu perbuatan mereka telah merusak citra mereka di mata kaum muslimin Indonesia sebagai calon-calon pemimpin rakyat. Atas inisiatif Pemuda Persatuan Islam, maka organisasi-organisasi pemuda Islam di Bandung mengadakan suatu pertemuan untuk membentuk satu Komite, yaitu Komite Pembela Kesopanan. Tugas pertama komite ini ialah mengadakan rapat umum (Openbare Vergadering) untuk mengupas persoalan dansa dilihat dari segi agama dan perjuangan bangsa.
Rapat diadakan pada tanggal 4 Februari 1940 bertempat di gedung Himpunan Saudara di jalan Dalem Kaum. Rusyad Nurdin sendiri yang diserahi amanat sebagai pimpinan rapat.
Perhatian masyarakat ternyata luar biasa. 44 organisasi mengirimkan utusan, 7 orang dari wakil pers dan tidak ketinggalan pejabat-pejabat pemerintah, terutama dari Dinas Kepolisian dan Politik.
Pembicara-pembicara yang menyampaikan ceramah adalah Aly Hoesein (NU), dr. Murjani, Muhammad Natsir, Bupati Bandung RAA. Wiranatakoesoemah.
Apa yang disampaikan oleh para pembicara mendapat sambutan luar biasa dari hadirin, terutama pembicaraan Muhammad Natsir. Antara lain ia berkata dengan membawakan argumen Raden Ajeng Kartini berkenaan dengan kesopanan Timur dan Barat:
“Kalau sekiranya arwah Raden Ajeng Kartini melihat kepada perdansaan sekarang ini tentu beliau akan menyesalinya, karena bertetangan dengan angan-angannya, yang telah dibukakan orang itu.
Pemuda bangsa kita menjadi Pak Tiru karena rasa rendah diri (minderwaardigheids-gevoel), merasa diri lebih rendah dari bangsa lain. Rasa rendah diri yang berpengaruh dalam jiwa ibu dan bapak, menyebabkan mereka tidak sanggup menahan anak-anak mereka menjadi Pak Tiru seperti melakukan perdansaan ini.”
Dalam usia 23 tahun, Rusyad Nurdin dan kawan-kawannya berhasil mengadakan rapat yang luar biasa besar dan hasil yang sangat memuaskan. Rasa bangsa sebagai pemuda Islam bertalu-talu di dada mereka, seperti kata pepatah: Ba’ bujang jolong berkeris.
Masa Pendudukan Jepang dan Perjuangan Bersenjata
Masa pendudukan Jepang di Indonesia merupakan masa yang penuh penderitaan. Bangsa Indonesia mengalami kerugian manusia dan kerugian materi.
Untuk menentang penjajah baru ini, ada kelompok yang melakukan gerakan bawah tanah ada juga yang melakukannya secara terang-terangan dan terbuka. Yang mengambil langkah bawah tanah ternyata banyak yang tertangkap oleh penjajah Jepang, karena kurangnya menjaga rahasia.
Rusyad Nurdin memilih menjadi ustadz di Pesantren Persatuan Islam. Selain itu, ia aktif memberi pelajaran pada Pendidikan Kader Dakwah, yang diadakan oleh organisasi Majelis Islam di bawah pimpinan Muhammad Natsir. Ia juga aktif mengumpulkan pelajar-pelajar Sekolah Lanjutan Atas untuk diberi pendidikan agama.
Saat itu, Rusyad Nurdin tinggal di mesjid bersama adik sepupunya Lukman El-Hakim, yang datang ke Bandung mengikuti jejaknya, yaitu belajar di sekolah Pendis.
Akhirnya pada tahun 1945, Jepang menyerah pada tentara sekutu. Kesempatan ini tidak disia-siakan para pemimpin bangsa untuk menentukan sikap. Atas nama seluruh rakyat Indonesia, Bung Karno dan Bung Hatta mengumumkan kemerdekaan seluruh Indonesia ke seluruh nusantara pada tanggal 17 Agustus 1945.
Namun Belanda ingin kembali menguasai tanah Indonesia. Sejak mereka kembali menginjakan kaki di bumi pertiwi, rakyat Indonesia langsung mengadakan perlawanan. Pertempuran terjadi dimana-mana.
Para pemuda Indonesia tidak kaku lagi memegang senjata berkat latihan yang mereka dapat selama pendudukan Jepang (tiga setengah tahun). Inilah mungkin rahmat terselubung (a blessing in disguise) dibalik pendudukan Jepang bagi warga negara Indonesia.
Rusyad Nurdin menggabungkan diri dengan pasukan Hizbullah di bawah pimpinan Sultan Husinsyah. Setelah Bandung diduduki Belanda, pasukan mundur ke Bandung Selatan, kemudian ke Garut dan akhirnya ke Tasikmalaya. Setelah Tasikmalaya diduduki pula oleh Belanda, pasukan pun bermarkas di Gunung Galunggung.
Di situlah Rusyad bertemu dengan Daty binti Abdurrahim yang kemudian menjadi istrinya. Buah pernikahan itu, mereka dianugerahi 15 anak. Mereka adalah Hayati Chairiyah, Saifullah, Chalidah, Fauziah, Muchlisah, Chudriyah, Syafrullah, Chairul Bariyah, Amarullah, Faaizah, Hilda Fadilah, Syarifah, Mufidah, Munadian Yunadi, dan Fadlullah.
Sampai tahun 1948 ternyata perlawanan pahlawan-pahlawan nasional kian hari kian terdesak, sehingga akhirnya Republik Indonesia hanyalah Yogya dan sekitarnya. Ini pun tidak bisa bertahan lama, Jendral Spoor menyerbu ke Yogyakarta, banyak para pemimpin bangsa yang ditahan dan dibuang ke Bangka. Tamatkah riwayat Indonesia? Tidak!
Sebelum Bung Karno dan Bung Hatta serta pemimpin-pemimpin lain dibawa ke tempat pembuangan mereka, sempat menyerahkan pimpinan perjuangan selanjutnya kepada putera Indonesia Syafruddin Prawiranegara dari Masyumi sebagai Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berkedudukan di Sumatera Barat. Pengakuan Belanda bahwa Indonesia sudah diduduki dibantah oleh Syafruddin melalui radio ke seluruh dunia. Disamping itu perjuangan diplomatik terus dilakukan oleh Sutan Syahrir dari PSI dan Haji Agus Salim “The Grand Old Man” dari Masyumi di forum internasional, yang kebetulan berada di luar negeri. Perang diplomatik ini disertai dengan perang gerilya yang dipimpin Panglima Besar ABRI Jenderal Sudirman. Kolonel Suharto memperlihatkan kepada dunia luar bahwa tentara RI masih ada dengan melakukan penyerbuan ke Yogyakarta dan mendudukinya selama 6 jam.
Akhirnya Dewan Keamanan PBB memaksa Belanda supaya berunding dengan RI. Belanda menunjuk Van Royen sebagai utusannya dan dari Indonesia diwakili Mohammad Roem. Muhammad Roem tidak mau berunding sebelum Bung Karno dan Bung Hatta serta pemimpin-pemimpin lainnya dikembalikan ke Yogyakarta. Tuntutan Indonesia ini terpaksa dikabulkan oelh Belanda, sebab perundingan harus dilakukan dalam suasana duduk sama rendah, tegak sama tinggi. Konon kejadian ini katanya sangat menyakiti hati Jenderal Spoor yang telah berusaha sekuat tenaga untuk menghapus RI dari muka bumi ini, dan ia pun melakuan bunuh diri sebagai bentuk kekecewaannya. Satu siasat politik dari Mohammad Roem yang memang dikenal sebagai sorang diplomat yang ‘canggih’.
Perundingan antara Roem dengan Royen ini ini melahirkan Roem Royen Statement, dengan diadakannya Konferensi Meja Bundar di Belanda di bawah pimpinan Muhammad Hatta.
KMB melahirkan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan presidennya Bung Karno dan Wakil Presidennya Muhammad Hatta dengan kedudukan di bawah Ratu Juliana dari Belanda. Ini tidak sesuai dengan keinginan bangsa kita.
Namun itulah hasil maksimal yang bisa dicapai dalam perundingan KMB. Sudah tentu perjuangan tidak berhenti di situ, RIS adalah batu loncatan untuk perjuangan selanjutnya. Waktu terus berjalan, diselingi oleh pertempuran-pertempuran dan perjuangan diplomatik, akhirnya cita-cita bangsa Indonesia tercapai dengan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1950 dan diakui oleh seluruh dunia.
Masa Pemerintahan Orde Lama
Pada masa pemerintahan orde lama, Rusyad Nurdin lebih banyak bergerak di bidang politik. Ia bergabung dengan Partai Masyumi, dan menjadi anggota Pimpinan Masyumi Jawa Barat dan juga menjadi Anggota Dewan Partai Masyumi, instansi ke-2 sesudah Muktamar.
Waktu DPRD Sementara dibentuk (1950) Rusyad Nurdin termasuk anggotanya. Setelah Pemilihan Umum Pertama (1955), Ketua DPRD Jawa Barat, Tb. Djaja Rachmat berhenti, karena terpilih menjadi anggota parlemen, maka ia terpilih menggantikannya sebagai ketua. Tetapi jabatan itu hanya sebentar didudukinya, sebab ia pun terpilih menjadi anggota Konstituante.
Selama berjuang di dunia politik, Rusyad Nurdin merasa prihatin dengan cara orang-orang PKI dalam memperjuangkan ideologinya. Mereka menghasut, memfitnah, menteror, lempar batu sembunyi tangan dan akhlak-akhlak tidak terpuji lawannya demi meraih cita-cita mereka.
Oleh karena itu pada tahun 1955, para Pimpinan Masyumi Jawa Barat mendirikan Barisan Front Anti Komunis. Alasannya sangat kuat sekali:
1. Orang-orang komunis adalah manusia-manusia yang anti Tuhan dan membenci agama.
2. Larangan agama (Islam) untuk mengadakan kerja sama dengan mereka (an-Nisa: 140).
3. Mereka anti Pancasila
4. Mereka menentang UUD 1945.

Tujuannya:
1. Karena banyak kaum Muslimin yang tertipu menjadi anggota PKI maka dirasa perlu untuk menjelaskan kepada mereka tentang bahaya ideologi komunis bagi agama, bangsa dan negara.
2. Kalau perlu dibentuk satu barisan, yang akan menghadapi orang-orang PKI secara fisik.

Tetapi karena kelihaian mereka berjuang dengan menghalalkan segala cara dan karena kelengahan kaum Muslimin, orang-orang PKI berhasil mendekati dan mempengaruhi Bung Karno. Hanya dalam masa 15 tahun setelah pemberontakan Madiun, dengan bantuan Bung Karno mereka bangkit kembali dan dapat menguasai situasi politik di Indonesia pada waktu itu.
Pada tahun 1959, atas perintah Bung Karno, beberapa pimpinan Masyumi ditahan, mereka yaitu M. Rusyad Nurdin, Tb, Djaja Rachmat, M. Sape’I, M. Djerman Prawiradinata, dan Dadun Abdul Qohar.
Penahanan tersebut dilaksanakan di Bandung oleh Panglima Divisi Siliwangi, Brigadir Jendral M. Kosasih. Dalam suratnya Brigjen M. Kosasih, meminta mereka datang ke Markas Siliwangi untuk ‘membicarakan sesuatu’.
Setelah mereka berlima berkumpul, maka Panglima mengatakan bahwa dia mendapat perintah untuk menahan mereka. Ia tidak menempuh jalan mengambil mereka dari rumah masing-masing, tetapi jalan yang ditempuhnya itu adalah cara yang dianggap baik terhadap orang-orang politik, “Saya minta maaf kepada saudara-saudara,” katanya, “sebab apa yang saudara alami sekarang ini berbeda dengan isi surat saya.”
Lalu kelimanya dipersilahkan pulang untuk memberi tahu keluarga dan mempersilahkan diri dengan segala apa yang diperlukan, dan kemudian kami diminta datang lagi ke Markas Siliwangi, sebab mereka akan diantar ke Jakarta sekitar pukul 10.00.
Pukul 10.00 mereka dibawa ke Jakarta dan langsung menuju Rumah Tahanan Militer di Jalan Budi Utomo. Mereka tahanan Jaksa Agung dan mereka diperlakukan dengan baik. Setelah shalat Zhuhur dan Ashar (jama’ ta’khir) serta makan siang, kira-kira pukul 16.00 mereka langsung diperiksa secara terpisah.
M. Rusyad Nurdin diperiksa oleh seorang hakim. Setelah ditanya identitas diri dan sebagainya, ia lalu ditanya apa sebabnya ditahan. Rusyad Nurdin menjawab, “Tidak tahu.” Lalu ia diperlihatkan sehelai selebaran, yang isinya sebuah petisi (permohonan) kepada Bung Karno selaku Presiden Republik Indonesia yang kami tanda tangi berlima. Isi petisi itu ialah permohonan kepada Presiden Republik Indonesia supaya beliau memperhatikan kembali sumpah jabatannya sebagai Presiden, akan mentaati UUD 1945 dengan sepenuhnya. Kenyataannya Bung Karno menempatkan dirinya di atas UUD 1945 dan dengan hanya ‘Keputusan Presiden’ hampir tiap-tiap pasal itu dilanggarnya. Selanjutnya isi petisi itu ialah memohon kepada Bung Karno, supaya mengehntikan kerja sama dengan PKI.
Banyak pertanyaan yang diajukan, dan semuanya dijawab dengan terus terang dan lugas. Tiada rasa takut yang membayangi Rusyad Nurdin, karena ia yakin perbuatannya benar menurut agama dan menurut UUD 1945. Sewaktu ditanya mengapa anti komunis? Ia menjawabnya dengan terus terang.
“Islam adalah agama wahyu, agama Allah, ajarannya bertujuan rahmatan lil ‘alamiin (rahmat bagi seluruh alam) dan meliputi segala segi kehidupan manusia, politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya.
Ada satu sikap dari seorang Muslim di bidang politik, yang tidak begitu dipahami dengan baik. Yaitu, apabila seorang politikus Muslim menyampaikan kritik terhadap pemerintah, pada umumnya sikap yang demikian itu dianggap sebagai usaha menyudutkan pemerintah atau satu usaha untuk menjatuhkannya. Kritik yang demikian sifatnya tidak ada dalam kamus Islam. Dalam Islam kritik itu ialah amar ma’ruf nahyi munkar.
Apabila seorang pemimpin sudah terpilih dan diangkat, maka merupakan satu keharusan bagi setiap Muslim untuk membantunya dalam melakukan tugasnya supaya berhasil dengan sukses, dan bantuan itu meliputi nahyi munkar, menyelamatkan pemimpin itu dari kesalahan, supaya negara dan bangsa terhindar dari malapetaka.
Sabda Rasulullah SAW., :
“Kalau kamu melihat pemimpinmu berbuat kesalahan yang kamu benci, maka yang kamu benci itu ialah amalnya (bukan orangnya).” (Muslim).
“Selamatkan saudaramu yang berbuat salah itu!” (al-Hadist).
Jelaslah bahwa pemimpin yang bersalah itu bukanlah musuhmu, tetapi saudaramu, yang harus kamu selamatkan. Bukankah ini suatu cara yang amat indah dalam mengurus dan mengemban amanat rakyat.
Kita manusia adalah makhluk yang lemah. Sewaktu-waktu bisa saja berbuat salah.
Selanjutnya Nabi bersabda:
“Janganlah sekali-kali engkau membenci orang durhaka (hidup mewah hasil kecurangan yang dilakukannya). Sesungguhnya engkau tidak tahu kemana jadinya orang ini pergi sesudah matinya, karena sesungguhnya di belakangnya ada yang mengejarnya untuk menuntutnya.” (Bukhari dan Muslim)
Apabila seorang Muslim menegor atau memberi peringatan kepada saudaranya yang hidup serakah, itu bukan karena iri hati, bukan pula karena marah atau benci, tetapi didorong oleh rasa kasihan, sebab pasti orang yang hidup serakah itu akan menanggung azab di akhirat nanti sepanjang masa dan dalam keadaan tidak hidup tidak mati. Dan seharusnya orang yang mendapat peringatan itu bersyukur, karena masih ada saudaranya yang mencintainya dan yang memberi peringatan kepadanya.”
Setelah mereka berlima selesai diperiksa, maka pada hari ke-11 mereka dipulangkan ke Bandung dengan status tahanan rumah selama 10 hari dan tahanan kota sekitar satu bulan.
Setelah habis tahanan rumah, Rusyad Nurdin dan M. Sape’i, sebagai anggota Konstituante dapat menghadiri sidang-sidang kembali.
Waktu terus berjalan sampai terjadilah sesuatu di luar perkiraan. Presiden Sukarno membubarkan Konstituante, yang dibentuk atas kemauan rakyat Indonesia, dan setelah itu giliran Masyumi yang dipaksa membubarkan diri.
Masyumi yang bersama-sama dengan partai-partai lain dan tentara bahu membahu memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia harus bubar!
Masyumi yang menuntut PKI dibubarkan malah sebaliknya ia yang dibubarkan. Bergembiralah orang-orang PKI karena hal ini.

Kehilangan Wadah
Setelah Masyumi tidak dapat lagi melakukan tugasnya, maka otomatis warga Bulan Bintang kehilangan wadah tempat berjuang di bidang politik. Pada saat itu, M. Rusyad Nurdin kembali ke dunia pendidikan, bersama-sama Prof. Soemardja, Prof. H.A. Sadali, KHE. Zainal Muttaqien, Abdullah Dahlan, Aban Sobandi dan lain-lain, mereka membangun kembali PIT (Perguruan Islam Tinggi) karena sudah lama terhenti. PIT inilah yang di kemudian hari menjelma menjadi Universitas Islam Bandung (Unisba). Tujuan utama didirikannya perguruan tinggi ini adalah untuk melahirkan ulama intelek dan intelek ulama.
Sejak tahun 1960 atas anjur-mula dosen-dosen ITB antara lain Prof. Tb. M. Sulaeman M.Sc. EE. Prof, Ahmad Sadali dan lain-lain telah diadakan Shalat Jum’at di ITB dan M. Rusyad Nurdin menjadi Khatib yang rutin mengisinya. Mula-mula ibadah Jum’at ini dihadiri 20 orang, yang bertempat di sebuah ruangan kecil di Aula Barat (yang sekarang menjadi Mesjid Salman), lama-lama jumlahnya kian meningkat banyak.
Pada tahun 1962 setelah keluar instruksi dari Menteri PDK supaya di sekolah-sekolah tinggi di berikan kuliah agama, maka pelopor pelaksana pertama di ITB adalah Prof. Tb. M. Sulaiman. Ia dan beberapa dosen ITB lainnya, meminta M. Rusyad Nurdin agar bersedia menjadi dosen agama di ITB. Namun, Rusyad Nurdin menolak permintaan itu, ia terlalu merendah dengan alasan merasa kurang tepat untuk menjadi dosen agama. Lewat sepucuk surat dari Mohammad Natsir, akhirnya Rusyad Nurdin bersedia mengajar sebagai dosen agama.
Isi surat Mohammad Natsir itu adalah:
“Saudara Rusyad, saya mendengar kabar bahwa saudara diminta untuk memberi kuliah agama di ITB. Kenapa saudara tolak? Terimalah permintaan kawan-kawan itu. Sangat besar manfaatnya, paling sedikit:
1. Saudara akan terdorong untuk lebih mendalami ilmu agama.
2. Saudara tentu akan berusaha pula memperlihatkan kebenaran ajaran Islam melalui amal dan perbuatan sehari-hari sebagai contoh bagi mahasiswa-mahasiswa.
3. Mudah-mudahan dengan jalan itu anak-anak kita di ITB akan terpelihara agama mereka.”
Setelah ia menerima surat Muhammad Natsir itu, maka ia menyiapkan diri untuk menjadi seorang dosen agama di ITB disamping sahabat-sahabatnya, Kolonel Abdjan Solaeman dan A. Latif Aziz.
Pekerjaan sebagai dosen agama itu digelutinya selama 25 tahun.


Pesan M. Rusyad Nurdin Bagi Generasi Penerus
“Berusahalah menghadapi setiap peristiwa dengan tenang! Ada kejadian yang menyenangkan dan ada pula yang menyedihkan. Itulah permainan hidup dan ia datang silih berganti. Di waktu gembira kita bersyukur dan di waktu bersedih kita bersabar.
Jangan sekali-kali menyesali apa yang telah terjadi. Ia tidak lepas dari takdir Allah SWT.
“Tiada musibah yang menimpa kita melainkan apa yang telah ditakdirkan oelh Allah bagi kita. Dialah pelindung kita dan kepada Allah-lah hendaknya orang-orang yang beriman berserah diri!” (a-Taubah: 51)
Kata orang tua kita: “Walau pun bagaimana keadaan, jangan berhenti tangan mendayung!
Kalau air deras berpindahlah ke pinggir supaya diri jangan dibawa hanyut oleh arus. Dan jangan mencari-cari orang tempat melemparkan segala kesalahan, terutama pemimpin-pemimpin yang terdahulu. Mereka sudah melakukan tugas, berjuang dan berkorban. Tiada ada tanda-tanda atau bukti-bukti yang menunjukan, bahwa mereka berjuang untuk kepentingan pribadi.
“Pahala baginya atas usaha yang telah dilaksanakannya dan ‘azab baginya atas ma’siat yang telah dilakukannya!”
Waktu bagi kita adalah waktu sekarang! Mari kita dengarkan nasihat Syauqie Bey:
“Kukuhkan pendirianmu dalam hidup ini,
Dengan semangat perjuangan dan pengorbanan
Yang dinamakan hidup ialah ‘aqidah, keyakinan,
Serta tabah dan sungguh-sungguh dalam perjuangan!”

Nabi kita Muhammad SAW., menganjurkan kepada kita supaya kita hidup seperti seekor lebah. Lebah adalah seekor binatang yang ringan badannya. Dimana ia hinggap, sekali pun di atas ranting yang kecil, ranting itu tidak pernah patah. Ia hinggap di tempat yang bersih, memakan makanan yang bersih. Kemudian segala apa yang dimakannya, setelah melalui proses dalam tubuhnya, dikeluarkannya kembali berupa madu, makanan yang enak dan sehat bagi umat manusia. Inilah yang dinamakan hidup rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam).
Jangan hidup seperti seekor lalat! Binatang yang selalu memakan makanan najis, dan setiap saat mengeluarkan penyakit dimana-mana.
Karena itu jauhkan diri dari enam perkara, yaitu perbuatan-perbuatan maksiat yang amat merugikan ummat manusia sebagaimana kita temui dalam hadist Rasulullah SAW.,:
“Ada enam perkara yang aku laknat, dilaknat oleh Allah dan dilaknat oleh tiap Nabi yang doanya didengarkan Allah, yaitu:
- Orang yang menambah-nambah AL-Quran, mengubah agama.
- Orang yang mendustakan takdir Allah.
- Orang yang memperhambakan diri kepada orang dzalim, pendurhaka.
- Orang yang memuliakan siapa yang hina dalam pandangan Allah dan menghina
siapa yang mulia dalam pandangan Allah.
- Orang yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah.
- Orang yang meninggalkan sunnah Nabi. (Tirmidzi, Al-Hakim”
Mari kita usahakan diri kita jauh dari perbuatan yang dilaknat itu untuk keselamatan kita, terutama di akhirat nanti. Semoga Allah membantu kita! Amin Ya Rabbal ‘alamin!”

1 komentar:

  1. Alhamdulillah, Terimakasih, sangat menginspirasi, sekitar tahun 1987 saya pernah ke rumah beliau, sempat berbincang, waktu itu saya memohon agar beliau berkenan memberikan ceramah umum di kegiatan KKN (IKIP Bandung) kami di Desa Sukasari (ingat ingat lupa) kecamatan Pamengpek banjaran Bandung, Alhamdulillah beliau bersedia. Beberapa kali saya pernah menyimak ceramah beliau langsung, sangat luar biasa, sekarang ingin menyimak ulang, ketika searching di youtube/google alhamdulilah ditemukan ada ceramahnya tentang aqidah dan islam sebagai jalan hidup (Keduanya ceramah di mesjid salman ITB). dari beberapa ceramahnya, salah satu yang masih berkesan dalam ceramah beliau, ketika itu beliau bawakan riwayat shahabat syaidina Ali rodiallahu anhu kehilangan baju besi .....

    Alhamdulillah sayapun dalam waktu yang bersamaan telahpun sempat menjumpai Bapak Prof Muhamad natsir di jakarta, jika tidak salah dikantor Dewan dakwah hanya sekedar silaturahim.

    Pak Natsir sangat berwibawa bawaannya tenang, ramah banyak senyumnya, terlihat sederhana. ada beberapa tulisannya (bahkan bukunya yang saya telah baca), yang masih ingat adalah tulisan beliau tentang nasihat untuk perkawinan (membentuk keluarga islami) kemudian tentang bahayanya judi (waktu itu kritik terhadap PORKAS). Luar biasa pak Natsir dan Pak Rusyad, Semoga Allah memuliakannya demikian juga untuk semua ulama pejuang agama Allah yang telah mengabdikan diri kepada Allah melalui amal makruf nahi munkar


    BalasHapus