Selasa, 11 Januari 2011

KH. LATIEF MUKHTAR, MA.



Hayat, Perjuangan dan Visi
KH. LATIEF MUKHTAR, MA.
Dadan Wildan Annas

Abdul Latief, itulah nama kecilnya, dilahirkan di Garut pada tanggal 7 Januari 1931 dari pasangan H. Mukhtar dan Hj. Memeh. Ia merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Ia berasal dari kalangan sederhana. Ayahnya seorang pedagang tembakau dan ibunya sehari-hari berjualan nasi di sekitar Cihampelas. Melalui didikan ayahnya yang taat beribadah, sejak kecil Latief telah dididik menjadi muslim yang taat. Pada usia enam tahun, Latief memasuki jenjang pendidikan di Lembaga Pendidikan Islam (Pendis) yang didirikan oleh jam'iyyah Persis di bawah binaan Muahammad Natsir, kemudian melanjutkan pendidikan di pesantren Persis yang baru berdiri pada tanggal 4 Maret 1936 sebagai pengganti Pendis, dengan memasuki pesantren kecil (setingkat Ibtidaiyah) di bawah bimbingan ustadz Abdurrahman, ustadz Sudibja, dan ustadz Komarudin Shaleh. Dengan demikian, sejak dini Latief telah dipengaruhi oleh nuansa gerakan pembaharuan Islam dalam jam'iyyah Persis yang kemudian ia tampil sebagai ketua umumnya selama 14 tahun.

Abdul Latif menghabiskan pendidikan masa kecil dan masa remajanya di bangku Pesantren Persis, sejak tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah, hingga selesai tingkat Mualimien (setingkat SMU) pada tahun 1952, dan ia termasuk santri masa revolusi yang mengenyam pelajaran di tempat pengungsian di daerah Gunung Cupu Ciamis dibawah asuhan ustadz Abdurrahman. Selain di Persis, ia pun pernah mengenyam pendidikan di pesantren Darul Latief di Garut. Sebagai seorang yang mempunyai intelektualitas tinggi dan mampu membaca peluang, ketika belajar di Mualimien Persis, Latief pun mengikuti ujian persamaan di SMP Muhammadiyah (1951) dan bisa melanjutkan studi di MAN 3 Bandung hingga lulus pada tahun 1953. Pada masa remaja inilah, jenjang pendidikan intelektualitas dan keulamaannya di tempuh; ia sekolah rangkap di SMAN 3 dan di Mualimien Persis. Dan pada masa remaja ini pula, Latief telah terlibat dalam aktivitas organisasi dengan menjadi ketua Rijalul Ghad (RG), yakni organisasi para santri pria di pesantren Persis (1951-1952).

Latief muda, pada tahun 1961 mempersunting Aisyah Wargadinata, mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Padjajaran kelahiran Tasikmalaya 21 September 1936. namun, karena masih berada di Mesir dan belum bisa pula ke Indonesia, Latief melakukan hal yang tidak biasanya bagi pemuda Indonesia, ia melakukan "nikah wali". Setelah pernikahan wali itu, Aisyah yang masih duduk di tingkat dua Fakultas Hukum Unpad pada tahun 1962 menyusul suaminya dan melanjutkan studi pada Kulliatul Banaat (fakultas khusus wanita) Universitas Al-Azhar Kairo dengan mengambil spelialisasi bidang syari'ah. Dari perkawinannya dengan Aisyah Wargadinata, Latief dikaruniai tiga anak lelaki, mereka adalah Irfan, Iman dan Ikhsan. Setelah kembali ke Indonesia, Latief bersama istrinya, Aisyah, mengabdikan diri sebagai dosen pada beberapa perguruan tinggi Islam di Bandung.

Jenjang pendidikan yang ditempuh Latief nampaknya belum cukup, ia melanjutkan studi program magister (S2) pada Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan selesai pada tahun 1984, kemudian berusaha untuk meraih gelar doktor dengan mengikuti (S3) di IAIN Syarif Hidayatullah, namun belum sempat di selesaikan karena kesibukannya sebagai Ketua Umum Persis dan Allah Swt, memanggilnya.

Selesai menamatkan pelajarannya di pesantren Persis dan SMAN 3 Bandung, ia melanjutkan studi pada Sekolah Tinggi Hukum dan Pengetahuan Masyarakat di Jakarta, tetapi hanya bertahan dua tahun saja, karena ia menganggap tidak memperoleh tambahan ilmu. Latief bercita-cita untuk melanjutkan studi di luar negeri. Dengan kemampuan bahasa Arab dan Inggris, ia "terjun bebas" ke Mesir pada bulan Oktober 1957 untuk melanjutkan studi Starata 1 (S1) di Darul Ulum (1962), ia melanjutkan studinya pada Ma'had Dirasah Islamiyah (institute of islamic studies) selama dua tahun, hingga selesai pada tahun 1964. Rekan kuliahnya saat itu antara lain almarhum K.H. Ahmad Azhar Basyir (mantan ketua umum PP. Muhammadiyah). Untuk bertahan hidup di Kairo, Mesir, ia bekerja di Kedutaan Besar Republik Indonesia. Ketika bekerja di KBRI ini, ia mempunyai banyak kesempatan untuk bertemu dengan para mahasiswa Indonesia, sehingga ia pun bersama Ibrahiem Husein (yang kemudian menjadi guru besar IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat, mendirikan Himpunan Pelajar Pemuda Indonesia (HIPPI) dan ia terpilih sebagai sekretaris mendampingi Ibrahim Husein sebagai ketua.

Atifitasnya sebagai pendidik ditekuninya setelah pulang dari Kairo, Latif menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi, antara lain dosen Agama Islam di ITB (1971-1974), Dosen Ilmu Tafsir dan bahasa Arab di IAIN Sunan Gunung Jati Bandung (1974-1994), kemudian menjabat sebagai Pembantu Rektor IAIN Sunan Gunung Jati selama dua priode, juga dosen dan dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Bandung (1970-1974), dan terakhir menjabat sebagai Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin (STIU) Persis-sekarang Sekolah Tinggi Agama Islam Persis/STAIPI (1990-1993).

Pigur Pembaharu Persis

Sebagai orang yang dididik dan dibesarkan di lingkungan Persis, Latief terlibat aktif dalam organisasi Persis ketika masih remaja melalui organisasi Pemuda Persis, organisasi otonom di bawah Persis.

Aktivitasnya dimulai sebagai anggota pemuda Persis ketika ia masih duduk di bangku Mualimien, kemudian pada Muktamar ke-II Pemuda Persis 17-20 Septeber 1953 bertepatan dengan Muktamar Persis ke V, Latief terpilih sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Persis masa jihad 1953 – 1956. namun, tidak lama kemudian karena kesibukannya mempersiapkan diri untuk melanjutkan studi ke Kairo, ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua Umum PP. Pemuda Persis, dan posisinya digantikan oleh Yahya Wardi yang menjabat Ketua I PP. Pemuda Persis. Sejak Oktober 1957, ia telah berada di Kairo dan tidak lagi aktif dalam jam'iyyah Persis.

Sepulangnya dari Kairo pada tahun 1970, Latief kembali lagi berkiprah dalam jam'iyyah Persis sebagai anggota, pendidik, dan pendakwah. Aktivitasnya di Pusat Pimpinan Persis dimulai ketika ia diberi amanah untuk menggantikan posisi Ustadz Yunus Anis yang meninggal dunia pada tanggal 23 Mei 1972 sebagai Sekretaris Umum PP. Persis. Melalui musyawarah lengkap PP. Persis tanggal 2 April 1973 diputuskan bahwa jabatan Sekretaris Umum PP. Persis Periode 1967-1981 di bawah kepemimpinan Ustadz Abdurrahman dilimpahkan kepada H. Abdul Latief Mukhtar, MA.

Langkah yang membawanya ke pucuk pimpinan Persis adalah ketika ia terpilih sebagai ketua I PP. Persis pada Muakhot tanggal 16 – 18 Januari 1981 di Bandung mendampingi KH. E. Abdurrahman sebagai ketua umum. Dua tahun kemudian, pada hari Kamis, tanggal 21 April 1983, Ustadz Abdurrahman meninggal dunia, dan posisi ketua umum digantikan oleh Ustadz Latief sebagai pejabat Ketua Umum hasil musyawarah lengkap PP. Persis tanggal 1 Mei 1983 yang memutuskan melimpahkan jabatan Ketua Umum kepada Ketua I PP. Persis, H. Abdul Latief Mukhtar, MA. Hingga Muktamar ke X di Garut (6-8 Mei 1990), ia terpilih sebagai Ketua Umum PP. Persis untuk masa jihad 1990 – 1995. dan terpilih kembali pada Muktamar Persis ke XI di Jakarta (2-4 September 1995) untuk masa jihad 1995-2000.

Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum PP. Persis, Ustadz Latief mulai memegang amanah sebagai pejabat Ketua Umum dengan melanjutkan visi dan strategi ustadz Abdurrahman. Pada masa awal kepemimpinannya, dengan rendah hati ia mengatakan bahwa apa yang dilakukannya hanyalah melanjutkan cita-cita dan idealisme Ustadz Abdurrahman. Bahkan pada pidato pertanggungjawabannya sebagai Ketua Umum Persis pada Muktamar ke X di Garutr ia mengatakan bahwa "Yang saya pertanggungjawabkan ini sebagian adalah termasuk amal almarhum ustadz Abdurrahman.

Masa awal jabatannya sebagai Ketua Umum Persis, Ustadz Latief dihadapkan pada kegoncangan jam'iyyah Persis ketika berhadapan dengan Undang-undang No.8 Tahun 1985 dimana semua organisasi kemasyarakatan (ormas) di Indonesia harus mencantumkan al-asasul Wahid sebagai asas dalam anggaran dasar organisasinya. Peraturan inilah yang menjadi ujian pertama bagi Ustadz Latief untuk mengendalikan roda jam'iyyah tanpa terperangkap dalam jebakan politis.

Persoalan yang berkaitan dengan asasul wahid ini dihadapi dengan visi dan pemikiran Ustadz Latief yang akomodatif. Sebab, bagaimana pun jam'iyyah Persis berada dalam posisi di persimpangan jalan; turut pada aturan pemerintah atau sebuah keyakinan. Ustadz lafiet mencoba menjembatani persoalan ini dengan baik. Ia tidak meresponnya secara besar-besaran pada muktamar, melainkan dengan pendekatan persuasif melalui pertemuan-pertemuan dari tingkat Pusat Pimpinan hingga ke tingkat Pimpinan Cabang, pertemuan dengan para anggota Dewan Hisbah, serta pembicaraan yang bersifat siasah dengan para pengurus Persis. Hasilnya, Persis bersedia memasukan asasul wahid dalam Qanun Asasinya sebagai sebuah siasah perjuangan. Karenanya, Persis tetap bertahan sebagai sebuah jam'iyyah yang mempunyai siasah dan arah perjuangan yang jelas tanpa erpecahan.

Persoalan ideologis telah berhasil diatasi pada masa awal kepemimpinannya. Setelah itu, ia memunculkan visi pembaharuannya dalam berbagai bidang, antara lain bidang jam'iyyah, dakwah, pendidikan, ekonomi, pembangunan fisik, dan tentu saja respon terhadap berbagai persoalan umat melalui berbagai pernyataan yang dikeluarkannya, serta meningkatkan kinerja Dewan Hisbah sebagai lembaga tertinggi pengkajian hukum Islam di lingkungan Persis untuk memperbanyak kajian hukum terhadap berbagai persoalan kontemporer yang perlu dicari landasan hukum dan pemecahannya.

Dalam bidang jam'iyyah, Ustadz Latief bertekad untuk mejadikan organisasi Persis yang dipimpinnya tetap mandiri tanpa mengisolir diri, dalam arti, Persis tidak mengikatkan diri pada kekuatan lain sekalipun ia membuka diri. Ustadz Latief berusaha menampilkan Persis sebagai gambaran mini dari bunyaanul mukmin yang menopang satu sama lain (yasyaddu ba'dlukum ba'dlan), dan memasyarakatkan panggilan diantara jamaah Persis dengan panggilan ikhwatu iman berdasarkan ayat yang berbunyi, "innamal mu'minuna ikhwatun yang dijabarkan oleh sunnah Rasulullah Saw. Bahwa diantara sesama muslim adalah kal-jasadil wahid. Dengan kebijakannya inilah, Latief Mukhtar dikenal sebagai tokoh keterbukaan dalam jam'iyyah.

Dalam bidang dakwah, ia telah memberikan warna baru dalam dinamika peta dakwah di Indonesia, Persis tidak lagi tampil dalam gebrakan-gebrakan shock therapy tetapi mengubah metode dakwahnya melalui pendekatan persuasif edukatif. Persis tidak lagi "garang" dan "manantang", tetapi berusaha mencari jelas; bukan mencari puas. Garapan dakwah pun tidak terbatas pada rutinitas dakwah di kalangan anggota dan simpatisannya, tetapi bercita-cita untuk mengembangkan objek dakwah ke dalam lingkungan masyarakat kampus. Baginya, kampus adalah lembaga intelektual yang harus dirangkul dan diisi dengan materi dakwah yang tepat. Sebab, ternyata di kalangan mahasiswa terdapat kecenderungan kuat untuk belajar Islam lebih intensif. Tidak heran, jika ia sering mengisi berbagai aktifitas dakwah di kampus, baik melalui ceramah umum, diskusi-diskusi, maupun forum seminar. Demikian pula ia mendukung sepenuhnya pembentukan organisasi otonom mahasiswa Persis di berbagai perguruan tinggi dalam satu wadah Himpunan Mahasiswa dan Himpunan Mahasiswi Persis sebagai tempat berkiprah para mahasiswa Persis di lingkungan perguruan tinggi.

Jika Persis kini tampak low profile, tidak segalak dulu terutama pada era debatnya A. Hassan, ini tdk lepas dari kepeminpinan Ustadz Latif. Pada masa kepeminpinannya, Persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada masanya yang lebih realistis dan keritis. Dakwah Persis tidak lagi mencari kepuasan, tetapi mencari kejelasan. Artinya, dakwah harus disajikan secara argumentatif, baik dilihat secara nash berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits, maupun secara akal. Namun dalam hal fiqih ibadah, pendirian Persis tetap tak pernah berubah, sampai sekarang Persis berpendirian tegas, namun dengan pendekatan yang lebih luwes. Setrategi dakwah yang dianut Ustadz Latif meneruskan tradisi Ustadz Abdurahman yang bersifat cenderung mengajak, dan bukan mengejek.

Dalam bidang ekonomi, pemikoran Ustadz Latif telah menjurus kearah pemberdayaan umat Islam dengan tujuan meningkatkan kesejahtrsan umatsekaligus menghindari umat Islam dalam praktek bisnis dan dunia perbankan yang masih menggunakan sistem bunga konvensional . Sebab, menurut Ustadz Latif, masalah perbankan sesungguhnya tidak terlepas dari persoalan hukum, yang terikat dengan kebutuhan dan perekonomian umat. Ia kemudian merintis pendirian Bank PerkreditanRakyat (BPR) sebab sebuah bentuk Bank Islam tanpa bunga. Ia duduk sebagai komisaris BPR Amanah Robbaniah, yang menerapkan sistem bank tanpa bunga sebab salah satu upaya untuk menghindarkan diri dari sikap sekular dalam kehidupan ekonomi.

Sebagai orang yang dibesarkan di lingkungan pesantren persis dan juga sebagai seorang pendidik, Ustadz Latif menekankan pentingnya peningkatan kualitas dan kuantitas pesantren Persis yang tersebar di seluruh Indonesia. Visi Ustadz Latif adalah mencetak kader-kader ulama Persis yang handal. Untuk itu, ia berusaha keras untuk meningkatkan jenjang pendidikan yang ada dilingkungan Persis tidak hanya sebatas pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, melainkan meningkatkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan mendirikan perguruan tinggi Persis.

Cita-citanya mendirikan perguruan tinggi persis terlaksana dengan lahirnya Pesantren Luhur pada tahun 1988 yang kemudian mengalami beberapa menyesuayan nama antara lain Pondok Pesantren Tinggi (PPT), kemudian Sekolah Timggi Ilmu Ushuluddin (STIU), dan terakhir Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Persis dengan dua jurusan, yakni jurusan dakwah dan tafsir hadits, dimana ia tampil sebagai Dekannya. Kebahagiaan terpancar, ketika buah dari cita-cita dan pemikirannya mendirikan perguruan tinggi berhasil melukiskan para sarjana agama Islam dari STAIPI pada saat wisuda perdana pada tanggal 28 juli 1997. Ia berkata lirih; "akhirnya berhasil juga, dan tiba saatnya wisuda satjana mahasiswa STAIPI".

Didirikannya perguruan tinggi Persis jurusan Dakwah dan Tafsir Hadis, menurut Ustadz Latief didasari oleh kebutuhan tenaga da'i yang menguasai bidang dakwah, baik secara teoritis maupun praktis dan mampu mengaktualisasikannya kepada masyarakat baik dalam bentuk lisan dan tulisan. Selain itu juga, Persis perlu juga mempersiapkan tenaga-tenaga mufassir dan muhadist yang handal dan mampu mengembangkan penafsiran secara tekstual, kontekstual, dan aktual serta menguasai metodologi ilmu hadits.

Tidak hanya itu, visi Ustadz Latief telah jauh melampau batas-batas keulamaannya, tiga minggu sebelum beliau wafat, di kantor PP Persis ia masih sempat membicarakan pendirian Universitas Ahmad Hassan, sebuah universitas Persis yang berbasis agama dan pengembangan teknologi, dengan terlebih dahulu mendirikan Sekolah Tinggi Teknologi Pengukuran (STTP) Ahmad Hasan jurusan Fisika dengan spesialisasi instrumentasi dan teknologi syariah Islam, serta jurusan metrologi dan pengendalian mutu. Cita-citanya untuk mencetak kader-kader ilmuwan muslim sejati nampaknya merupakan sebuah "wasiat" yang perlu ditindaklanjuti.

Melalui jalinan hubungan internasionalnya yang rapat, Ustadz Latief bekali-kali melakukan kunjungan ke negara-negara Timur Tengah dalam proses pencarian dana untuk membangun sarana dan prasarana fisik umat Islam, khususnya bagi jam'iyyah Persis. Melalui usahanya ini, telah banyak dibangun mesjid-mesjid megah yang tersebar di cabang-cabang Persis melalui dana bantuan masyarakat dari negara-negara Timur Tengah, antara lain Kuwait dan Saudi Arabia.

Kiprahnya di dunia internasional, bagi Ustadz Latief merupakan ungkapan solidaritas dan ukhuwah Islamiyah antar sesama muslim di seluruh dunia, baik melalui forum Organisasi Konferensi Islam (OKI) maupun Majlis Ta'sisi Rabithah 'Alam Islami (Moslem World league). Ia telah banyak menjalin hubungan dan ikatan solidaritas diantara seluruh kaum muslimin di seluruh dunia. Sebagai contoh, Persis yang dimotori Ustadz Latief telah menunjukan rasa solidaritasnya terhadap nasib umat Islam seluruh dunia, misalnya dengan mengeluarkan pernyataan solidaritas waktu terjadi Perang Teluk dan pernyataan keprihatinan serta sekaligus membuka pendaftaran untuk menjadi sukarelawan perang Bosnia. Demikian pula, melalui forum Organisasi Konferensi Islam (OKI), Ustadz Latief seringkali hadir dan memberikan sumbangan pemikiran dalam organisasi ini, misalnya ia pernah mengusulkan untuk membentuk tentara OKI sebagaimana tentara PBB guna menghadapi bentrokan senjata yang dihadapi umat Islam serta sebagai penengah apabila terjadi pertentangan di dunia Islam.
Dalam aktivitas politik praktis, langkah yang ditempuh Ustadz Latief adalah kesediaannya untuk tampil sebagai politikus melalui partai PPP. Kesediannya ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan jamaah Persis. Tetapi cita-cita luhur dan idealisme perjuangan untuk menegakan Islam melalui peta dakwah yang lebih luas, telah memantapkan langkahnya. Dan ia tampil atas nama dirinya, bukan dalam sebagai Ketua Umum PP. Persis. Ia pantang menyerah meskipun menghadapi tantangan bagi idealisme yang diyakininya. Sebuah cita-cita yang pasti mengandung resiko perjuangan adalah hasratnya yang kuat untuk mengembangkan dakwah Islamiyah melalui langkah-langkah konstitusional. Hal ini dimaksudkan dalam rangka mengembangkan dakwah pembangunan di Indonesia, sesuai dengan aspirasi masyarakat dan umat. Ia mengecam jika para politikus yang tampil mewakili para rakyat itu hanya datang, duduk, dengar, dan mendapat duit, tetapi ia menginginkan agar setiap wakil rakyat dapat menjalankan amanah umat dengan baik. Sebuah idealisme dari seorang ulama politikus.

Dalam usia 60-an, Ustadz Latief masih tetap energik dan aktif. Ia aktif dalam berbagai organisasi keislaman. Di luar Persis, ia aktif antara lain sebagai anggota presidium Forum Dakwah Islamiyah, anggota Pleno DDI Pusat, anggota Dewan Penasehat ICMI Pusat, anggota Majelis Pertimbangan Partai di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), serta anggota Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kodya Bandung.

Sebagai seorang ulama intelektual, Ustadz Latief telah berhasil membawa Persis ke arah pembaharuan pemikiran Islam seirama dengan kondisi sosial politik yang terus berubah. Bagaimanapun Ustadz Latief telah menorehkan catatan sejarah tersendiri bagi umat Islam pada umumnya. Sebab, menurut Ustadz Latief sendiri dalam kata pengantar buku yang saya tulis. Sejarah Perjuangan Persis 1923-1983, beliau menulis;

"Kenyataan rentang waktu berabad-abad dalam sejarah bangsa Indonesia tidak terlepas dari peran umat Islam, zuama, dan organisasi-organisasi serta lembaga-lembaga Islam, yang akhirnya secara kuantitas umat Islam menduduki kedudukan mayoritas di negeri tercinta ini. Kini timbul kesadaran merata pentingnya meningkatkan kualitas SDM dalam segala aspek kehidupan. Selanjutnya sejarah tidak dimulai dari nol, tetapi merupakan rentetan peristiwa sebelumnya, lalu berkembang dan berkelanjutan. Sejarah umat Islam sebagaimana sejarah umat lainnya tunduk kepada hukum sejarah, juga sesuai dengan hukum Allah; mengalami pasang dan surut, dan kondisi ini sangat tergantung atas situasi dan kondisi lingkungan sekitarnya dan juga tergantung pada para pelaku sejarah."

Dalam hayat, perjuangan, dan visinya, ustadz Latief telah membuktikan sendri pernyataannya. Ia adalah seorang ulama pelaku sejarah yang telah memainkan peran penting dalam upaya mengembalikan umat kepada Alquran dan Sunnah, menegakan ukhuwah islamiyah; dan berperan aktif dalam pembangunan nasional dan hubungan internasional hayat dan perjuangannya menjadi teladan bagi kaum muslimin.

Pesan Almarhum
Sebelum wafat, almarhum tidak memberikan pesan-pesan moral atau wasiat kepada keluarga maupun jamaah Persis. Sebab, pada Selasa malam tanggal 30 September 1997, ketika sedang menginap bersama calon anggota DPR/MPR lainnya di Hotel Sahid Jakarta dalam rangka persiapan upacara pengambilan sumpah sebagai anggota DPR/MPR, ustadz Latief terserang penyakit jantung dan tidak sadarkan diri, karenanya langsung dilarikan ke ruang ICCU RSPAD Gatot Subroto Jakarta. Hingga pukul 22.37 hari Ahad tanggal 12 Oktober 1997 Allah SWT., memanggilnya. Padahal rencananya, almarhum mendapat tugas dari LPU mewakili kelompok Islam untuk menandatangani sumpah anggota DPR/MPR RI periode 1997-2002 sebagai sebuah kehormatan besar. Akan tetapi, Allah mentakdirkan pilihan yang terbaik untuknya.

Meski tidak memberikan pesan-pesan dan wasiat khusus, jika kita membuka kembali catatan yang berisi pesan-pesan almarhum, kita akan menemukan salah satu pesan almarhum melalui wawancara dengan majalah Risalah No. 8 Th.XXXIII bulan Oktober 1995 pasca Muktamar ke XI di Jakarta. Dalam wawancara itu kita seolah-olah mendapat wasiat terakhir dari almarhum yang ditujukan kepada seluruh jemaah Persis, aparat pemerintah dan kaum muslimin.

Ustadz Latief berpesan, "Pesan saya kepada warga Persis, baik anggota maupun simpatisan, agar memandang kebijaksanaan pimpinan dengan pemahaman yang benar, dengan melihat aspek menyeluruh dari ajaran Islam (syumuly). Jangan cepat menyimpulkan menyimpang dari atsar yang dulu secara sempit. Sebab dulu memang kemampuan kita baru sampai di sana. Kemudian kalau ada yang kurang jelas difahami, tanyakan langsung… dan jangan meyebar isu-isu yang negatif. Saya mengajak semuanya, kalau memang mencintai jam'iyyah ini, mari kita bina bersama dengan penuh kedewasaan, sehingga bisa menyikapi berbagai masalah yang berkembang dewasa ini secara proporsional. Bukankah prinsip seorang mukminin harus menempatkan al-walaa dan al-baraa secara proporsional. "alhubbu fil-Lah wal bughdu fil-Lah (mencintai dan membenci hanya karena Allah semata-mata.

Dalam hubungan ke ummat Islam yang kita dakwahi, kita harus memakai pendekatan yang luwes. Penting juga kita memperhatikan pesan ustadz Abdurrahman yang berkata, "yang penting jelas tidak harus puas."

Dengan membalas cacimaki oranglain ke kita, mungkin kita bisa puas, namun dakwah yang kita sampaikan malah jadi tidak jelas karena orang lain sudah o priori terhadap kita. Jadi, kita harus mencoba mengamalkan "dakwah bil hikmah" agar penyampaian kita sedapat mungkin diterima pendengar. Tanpa meninggalkan prinsip kita yang tegas dalam masalah hukum.

Kepada umat Islam pada umumnya, saya harap tidak lagi trauma terhadap Persis. Persis adalah lembaga formal yang telah diakui sebagai ormas nasional, dan pendekatan dakwahnya sekarang sudah dalam fase pembinaan dan pemupukan. Kalau dulu dinilai "keras" karena itu diperlukan dalam fase gebrakan (shock therapy). Oleh karena itu fahamilah terlebih dahulu isi dakwah yang kami sampaikan, baru silahkan menilai secara objektif.

Kepada pemerintah, khususnya aparat pemerintah di daerah, kami tidak ingin mendengar lagi adanya oknum yang mempersulit gerak organisasi Persatuan Islam, sebab itu berarti tidak mewakili jabatannya sebagai aparat pemerintah. Pemerintah Pusat Indonesia melalui Mendagri sudah menyatakan penerimaannya terhadap ormas Persis dan menghargai hasil usahanya. Jadi, kami minta pemerintah daerah termasuk tingkat kecamatan sampai RT pun dapat bekerjasama lagi dengan kami yang turut andil dalam pembangunan bangsa ini.."

Pesan-pesan pemimpin kharismatik itu perlu direnungkan dalam-dalam. Sebab, kini ia tidak lagi memberikan ceramah yang menyejukan, mengeluarkan fatwa, mengkritik, dan membuat pernyataan keprihatinan terhadap tindakan yang melecehkan umat Islam. Perjalanan terakhirnya menuju gedung DPR/MPR di Jakarta menyimpan obsesi yang belum sempat diwujudkan; memberikan kontribusi politis untuk menyuarakan aspirasi umat Islam dan meningkatkan kesejahteraan bagi rakyat yang diwakilinya. Belum sempat ia melangkah, Allah memanggilnya di RSPAD Jakarta dalam usia 66 tahun.

Dari RSPAD Gatoto Subroto Jakarta, Senin 13 Oktober 1997 dinihari pukul 02.00 jenazah diberangkatkan menuju Bandung dan tiba di rumah duka Jl. Lengkong Besar Gg. Ancol Utara I No.44/36 D Bandung pukul 05.30 WIB, dan disemayamkan disana hingga pukul 08.00. setelah itu jenazah dishalatkan di mesjid Persis Jl. Pajagalan no. 14 Bandung. Ribuan pelayat melakukan shalat jenazah dan mengantarkannya ke pekuburan Cijeungjing Buah Batu Bandung pukul 10.00 pagi, hari Senin, 10 Oktober 1997.

Matahari masih belum tegak lurus ketika Ketua Umum PP. Persis K.H. Abdul Latief Mukhtar, MA diturunkan ke liang lahat. Dalam suasana kesederhanaan, sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw., tanpa karangan bunga, tanpa kumandang suara adzan, tanpa penyiraman bunga di atas pusara, apalagi tembakan salvo, jenazah anggota DPR/MPR RI ini, dan aktivis organisasi nasional maupun internasional itu dimakamkan di samping kuburan almarhum K.H.E. Abdulah di kompleks pemakaman muslim Cijeunjing-Ciganitri Buah Batu Bandung.

6 komentar:

  1. Ustadz, artikelna ku abdi disuhunkeun kanggo ditayangkeun.

    BalasHapus
  2. terimakasih. artikelnya cukup menginspirasi penelitian tesis saya.

    BalasHapus
  3. TITIAN DABEL - Titanium Dabs nail, nail, paint, craft nail
    TITIAN DABEL – Titanium Dabs titanium trimmer as seen on tv nail, nail, paint, craft nail. 0 0.0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0 0.0 0 0.0 0 titanium cartilage earrings 0.0 0 0 0 0 0 0 0 0 ford focus titanium hatchback 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 gaggia titanium 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 columbia titanium 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

    BalasHapus