Selasa, 18 Januari 2011

Pemikiran dan Perjuangan K.H.E. Abdurrahman dalam Konteks Sejarah Pembaharuan Islam di Indonesia


Ustadz K.H.E. Abdurrahman dalam penilaian Howard M. Federspiel (1970:158) adalah sosok ulama organisatoris, Abdurrahman yang telah lama bergumul bersama lembaga pendidikan Persatuan Islam di Bandung, kemudian menjadi Sekretaris jenderal setelah perang kemerdekaan, dan pada tahun 1962 menggantikan Isa Anshary sebagai Ketua Umum telah memperlihatkan kemampuan organisatoris yang luar biasa dalam menggerakan persatuan Islam selama periode yang penuh dengan ketidakstabilan politik dan kemerosotan ekonomi.

Pembaharuan Persatuan Islam sejak generasi awal hingga kepemimpinan ustadz K.H.E. Abdurrahman yang menyangkut praktik-praktik peribadatan tertentu menurut Federspiel (1970:246-248) memberikan sumbangan bagi penguatan pemikiran dan tingkah laku kaum muslimin sunni di Indonesia. Penyampaian khutbah dalam bahasa lokal dimaksudkan untuk memperdalam pengetahuan umat Islam mengenai agama, yang merupakan target para ulama. Pembaharuan dalam praktek penguburan bertujuan untuk memisahkan kepercayaan dan praktik Islam yang mendasar dari adat kebiasaan dan ajaran kuno yang telah menjadi bahan pertentangan di kalangan ulama selama berabad-abad. Tuntutan bahwa pembacaan niat ditinggalkan dari ibadah dimaksudkan untuk membersihkan upacara keagamaan dari praktik yang sebetulnya tidak diperintahkan dalam Alquran dan Sunnah.

Persatuan Islam menyatakan bahwa segala sesuatu di luar masalah ibadah diizinkan oleh Islam apabila tidak ada larangan secara khusus. Prinsip seperti ini ditafsirkan secara luas dalam berbagai bidang, misalnya ekonomi, kedokteran, dan ilmu pengetahuan modern. Bagi Persatuan Islam, kitab suci merupakan otoritas final menyangkut apa yang boleh dan tidak boleh diterima.

Bagaimanapun, Persis sejak awal berdirinya hingga berada di bawah kepemimpinan K.H.E. Abdurrahman telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam gerakan pembaharuan Islam di Indonesia. Nilai persatuan Islam menurut Pederspiel (1970) sebagai sebuah topik bagi penelitian ilmiah tidak terletak pada organisasinya; karena ia kecil dan tidak kukuh, juga tidak terletak pada di dalam kehidupan politik Indonesia, karena aktivitasnya bersifat insidental dan pinggiran bagi arus utama perkembangan politik. Walaupun perannya dalam pendidikan agama memberikan pengaruh kepada ummat Islam Indonesia, tetapi ia jauh lebih tidak berpengaruh dibandingkan dengan organisasi-organisasi lain. Demikian pula penerbitannya cukup berpengaruh pada waktu itu, tetapi sedikit memperoleh sambutan dan pembaca di kalangan masyarakat Indonesia secara umum.

Meski demikian, Persis penting dikaji dikarenakan ia telah berusaha untuk mendefinisikan Islam yang sebenarnya, apa prinsip dasar agama Islam, dan bagaimana sebenarnya perilaku religius yang tepat bagi umat Islam. Dalam hal ini, Persis telah menghindari konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi yang kabur. Persis mirip dengan berbagai gerakan Islam Indonesia lainnya, karena memiliki persamaan perhatian. Persis terasa penting karena memberikan solusi-solusi tersendiri bagi problem-problem besar yang menghadang umat Islam Indonesia abad 20. kesemuanya itu tidak terlepas dari para ulama Persis sejak pendirinya H. Zamzam dan Haji Muhammad Yunus, kemudian dikembangkan dengan dasar-dasar dontrinal di jaman Ahmad Hassan dan Muhammad Natsir. Keterlibatannya dalam politik praktis di pinggiran pentas politik nasional di pacu dibawah kepemimpinan Isa Anshary, namun mulai melemah di jaman K.H.E. Abdurrahman. Dan nampaknya, gaya kepemimpinan K.H.E. Abdurrahman telah mengembalikan Persis pada garis perjuangannya; tabligh dan pendidikan berdasarkan Alquran dan Sunnah.

Dalam hal ini, sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara (1997:7) memberikan penilaian terhadap sosok K.H.E. Abdurrahman; pertama, K.H.E. Abdurrahman sebagai pemegang amanah berusaha menyeberangkan Persatuan Islam di tengah badai Nasakom dengan gaya dan cara mempertahankan eksistensi dengan perwujudan melestarikan amanah para pendiri dan pendahulu Persis sebagai organisasi dakwah; kedua, K.H.E. Abdurrahman sebagai penyelamat Persatuan Islam tidak berpartisipasi menerima nasakom pada masa Orde Lama, sebagaimana organisasi lainnya yang membuka diri sebagai pendukung nasakom tanpa reserve; ketiga, K.H.E. Abdurrahman memilih intensifikasi dan konsolidasi ke dalam organisasi Persis, daripada ekstensifikasi yang melemahkan kontrol organisasi; dan keempat, K.H.E. Abdurrahman menampilkan sikap kepemimpinan yang istiqamah, mempertahankan Persis sebagai organisasi dakwah, dan tidak membenarkan Persis berganti nama atau busana; ia lebih mengutamakan Persis sebagai organisasi kualitas yang berpengaruh besar.

Dalam konteks sejarah pembaharuan Islam di Indonesia, kepemiminan K.H.E. Abdurrahman dalam jam'iyyah Persis lebih cenderung memperkuat peran, fungsi, dan kedudukan Persis sebagai organisasi yang berjuang mengembalikan ummat kepada Alquran dan Sunnah sejak awal melalui pendidikan, dakwah, tabligh, dan publikasi yang terbatas. Nilai Persis memang bukan terletak pada organisasinya, tetapi pada upaya penyebaran fahamnya; yang diakui atau tidak telah menambus batas-batas organisasinya sendiri – organisasinya tidak dikenal luas, tetapi fahamnya telah menembus batas-batas kekakuan dan kekaburan pemahaman keislaman di Indoensia.
Read More..

K.H.E. ABDURRAHMAN DAN SEJARAH PEMBAHARUAN ISLAM DI INDOENSIA



Dadan Wildan Annas, M.Hum

Segi-Segi Kehidupan K.H. E. Abdurrahman

Menurut Fauzi Nurwahid dalam skripsinya yang berjudul K.H..E. Abdurrahman; Perannya dalam Organisasi Persatuan Islam (1988) K.H. E. Abdurrahman dilahirkan di Kampung Pasarean, Desa Bojong Herang, Kabupaten Cianjur pada hari Rabu 12 Juni 1912 (26 Jumadi Tsaniah 1330 H). Ia merupakan putera tertua dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Ghazali, seorang penjahit pakaian, dan ibunya bernama Hafsah, seorang pengrajin batik.

Pada usia 7-8 tahun, E. Abdrurrahman telah hatam Alquran dan pada usia ini pula ia mulai meniti jenjang pendidikan dengan memasudi madrasah Nahdlatul Ulama Al-lanah Cianjur (1919-1926). Di madrasah inilah penguasaan bahasa Arab dan ilmu alatnya semakin mantap. Selesai menamatkan pelajaran di madrasah Al-lanah, E. Abdurrahman pergi ke Bandung atas permintaan Tuan Swarha (Hasan Wiratmana) untuk mengajar di madrasah Nahdlatul Ulama Al-lanah Bandung (1928 – 1930). Sekitar tahun 1930, atas permintaan tuan Alkatiri, seorang tuan kaya di Bandung, ia diminta untuk memberikan bimbingan agama kepada putera-puteranya. Selain itu, Tuan Alkatiri pun mendirikan Majelis Pendidikan Diniyah Islam (MPDI) di Gg. Ence Azis No. 12/10 Kebon Jati Bandung yang menyelenggarakan pendidikan agama bagi anak-anak pada pagi hari. E. Abdurrahman diberi tugas mengelola MPDI bersama-sama dengan sahabatnya O. Qomaruddin Saleh yang juga mengelola madrasah Al-Hikmah di Rancabali Padalarang.

Tahun 1933, E. Abdurrahman menikah dengan Komara dari keluarga Asyikin seorang ningrat Cianjur dan dikaruniai 13 orang anak; lima putera dan delapan puteri. Dalam perjalanan hidupnya, E. Abdurrahman telah melakukan perjalanan haji dua kali, tahun 1956 bersama-sama Isa Anshary, A. Hassan, Tamar Djaja, Emzita, dan Tamim beserta rombongan 40 orang, dan pada tahun 1981 membimbing jamaah haji Persis berjumlah 89 orang.

K.H. E. Abdurrahman dikenal sebagai seorang yang tawadhu, seorang ulama besar, ahli hukum, namun tidak ingin disanjung, sehingga tidak banyak dikenal umum. Ia sangat menghargai waktu, waktunya dihabiskan untuk menelaah kitab-kitab, mengajar di pesantren, dan hampir setiap malam mengisi berbagai pengajian.

Ulama besar ini, jika dilihat dari latar belakang pendidikannya hanyalah lulusan madrasah Al-Ianah Cianjur, namun kegigihannya dalam membuka cakrawala ilmu tidaklah terbatas pada jenjang pendidikan formal, ia mencoba memahami berbagai bahasa, khususnya bahasa Arab, Inggris, dan Belanda ia kuasai. Cakrawala keilmuwannya terbuka luas, dengan berlangganan surat kabar Sipatahoenan, Kompas, dan Pikiran Rakyat, juga surat kabar berbahasa Inggris "The Indonesia Observer", disamping selalu mendapat kiriman majalah-majalah berbahasa Arab dari Saudi Arabia dan Mesir. Keseriusannya menelaah kitab-kitab telah merupakan bagian kehidupannya. Perbendaharaan kitabnya yang begitu banyak dan keseriusan mengkajinya, merupakan faktor penunjang dalam membentuk dirinya sebagai ulama. Keahliannya meliputi berbagai bidang ilmu, antara lain teologi, syariah, ilmu tafsir, ilmu hadist, fiqih, ushul fiqh, dan ilmu hisab. Dengan ilmu yang dikuasainya, meski tidak pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, namun ia diangkat menjadi dosen UNISBA tahun 1959, dan tahun 1967 sebagai dosen FKIT IKIP Bandung.

Muhammad Natsir (Fauzi Nur Wahid, 1988:74), memberikan penilaian bahwa E. Abdurrahman mempunyai kelebihan dalam kecermatannya menetapkan hukum dari ijtihadnya, dengan landasan dalil yang selalu kuat dan dapat dipertanggungjawabkan. Ulama seperti ini termasuk langka, bahkan jarang ditemui di luar negeri sekali pun.

Sosok E. Abdurrahman menunjukan orang yang sehat, bersih, dan selalu rapi dalam berpakaian. Apalagi jika akan selalu mengajar di pesantren, ia selalu tampil mengenakan celana panjang, berjas, dan berdasi. Hal ini ia lakukan bukan untuk disanjung dan menyombongkan diri, tetapi menghilangkan kesan yang mengatakan bahwa para ustadz di pesantren selalu berpakaian kotor, kumal dan jorok. Sikapnya senantiasa berhati-hati dalam berucap hingga tidak pernah menyakiti orang. Ia pun seorang penulis yang produktif, ia banyak menulis karangan lepas yang banyak tersebar di majalah-majalah, banyak menyusun bahan khutbah jumat, khutbah idul fitri dan idul adha. Buku-buku yang pernah disusunnya antara lain, Jihad dan Qital; Darul Islam; Ahlussunnah wal Jamaah; Dirasah Ilmu Hadis; Perbandingan Madzhab; Ahkamusyar'i; Risalah Jumat; Recik-Recik Dakwah; Sekitar Masalah Tarawih; Takbir dan Shalat Ied dilengkapi Khutbah Iedul Fitri; Hukum Kurban, Aqiqah dan Sembelihan; Petunjuk Praktis Ibadah Haji; Renungan Tarikh; Mernahkeun Hukum Dina Agama; Syiatul Aly; dan Risalah Wanita. Selain itu ia pun menulis dalam bentuk tanya jawab pada majalah Risalah dalam ruang Istifta.

Dalam perjuangannya di Persis menurut K.H.. Abdul Latief Muchtar, (1997: 12-13), K.H.. E. Abdurrahman sering berkata: "Kita harus mampu menghilangkan diri", hal ini mempunyai makna bahwa demi hidupnya pemikiran dan perjuangan untuk mempertahankan dan menegakan jam'iyyah perlu keikhlasan, berani melepaskan kepentingan pribadi untuk kepentingan jam'iyyah, dan tidak membanggakan diri terhadap jasa yang diberikan karena Allah. Dalam setiap tausiahnya, baliau selalu berkata, "Kita bukan pengikut dari generasi terdahulu, melainkan sebagai pelanjut." Hal ini mengandung makna bahwa pemikiran dan perjuangan Persis tidak taqlid, melainkan harus inovatif sesuai dengan perkembangan zaman dalam batas-batas kerangka Alquran dan Assunah. Sementara dalam metode dakwahnya, K.H.. E. Abdurrahman selalu menekankan bahwa, "Kita perlu mencari jelas, dan bukan mencari puas".

Pada hari Kamis, tanggal 21 April 1983, K.H..E. Abdurrahman meninggal dunia di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung karena penyakit asma yang dideritanya.

K.H.E. Abdurrahman dan Persis

Atas kehendak Allah, suatu hal yang jarang terjadi di mana seorang ulama yang semula mempunyai pemahaman keagamaan tradisional kemudian beralih menjadi ulama yang berpegang teguh terhadap Quran dan Sunah dan menentang berbagai bid'ah, khurafat, dan takhayul. Hal ini dialami K.H.E. Abdurrahman.

Kisah yang disampaikan K.H. E. Sar'an yang berasal dari ustadz E. Sasmita sebagaimana yang dikutif Fauzi Nur Wahid (1988Sasmita sebagaimana yang dikutif Fauzi Nur Wahid (1988 : 15), cukup memberikan gambaran tentang bagaimana K.H.E. Abdurrahman berubah sikap dari sosok ulama tradisional menjadi sosok muajddid yang tangguh.

Berawal dari adanya pengajian yang diselenggarakan oleh Persatuan Islam di jalan Pangeran Sumedang yang dipimpin oleh A. Hassan. Dalam suatu kesempatan, A. Hassan membahas masalah haramnya tahlilan, talqin, marhaban, dan usholi yang disebutnya sebagai perbuatan bid'ah. Ustadz E. Sasmita salah seorang murid E. Abdurrahman yang mengetahui hal itu kemudian menyampaikan bahasan A. Hassan kepada kelompok pengajiannya di madrasah malam MPDI, dan masalah ini pun diketahui pula oleh guru kebanggaan mereka, ustadz E. Abdurrahman. Ustadz E. Abdurrahman dan masyarakat sekitarnya merasa tersinggung mendengar bahasan A. Hassan, karena merasa yakin dan faham yang dianutnya disinggung dan dihinakan, apalagi disebut perbuatan haram karena bid'ah.

Dengan keberaniannya, ustadz E. Abdurrahman beserta beberapa orang muridnya mendatangi pengajian Persis yang dipimpin oleh A. Hasan. Sejak itu terjadi perdebatan antara A. Hasan dengan E. Abdurrahman hingga berlangsung beberapa malam. Akhirnya ustadz E. Abdurrahman dapat menerima seluruh keterangan dan dalil-dalil yang dikemukakan A. Hasan. Sejak itu, ustadz E. Abdurrahman selalu hadir dalam setiap pengajian Persis di jalan Pangeran Sumedang, dan ia menjadi murid A. Hasan yang paling akrab dan taat mendampingi gurunya dalam berbagai kegiatan. Pada suatu waktu, di dalam pengajian yang disaksikan orang banyak, sambil mengelus kepala E. Abdurrahman, A. Hasan berkata, "Abdurrahman! Anta akan menjadi murid saya yang pintar dan akan melebihi anak kandung saya."

Mulai tahun 1934, ustadz E. Abdurrahman dilibatkan sebagai guru pada lembaga pendidikan Islam (Pendis) Persis yang dikelola oleh Muhammad Natsir. Dengan demikian, semakin dekatlah ustadz E. Abdurrahman dengan para ulama Persis beserta para anggotanya. Kedekatan dengan Persis ini harus dibayar mahal, ia diusir oleh Tuan Alkatiri yang masih berpandangan tradisional, dan dibebaskan sebagai pengajar di MPDI, juga dibebastugaskan sebagai khatib di Pakauman Bandung, bahkan dia pun diusir dari rumah milik Alkatiri yang ia tempati sejak lama. Mulai saat itulah, E. Abdurrahman mengalami perubahan dalam kehidupannya; yang tadinya hidup serba kecukupan karena menjadi anak emas Alkatiri, kehidupannya menjadi sangat prihatin. Namun, kesemuanya itu ia terima sebagai ujian dari Allah SWT. (Fauzi Nur Wahid, 1988: 16-17).

Sekitar tahun 1940, pesantren Persis untuk orang dewasa (pesantren besar) yang dikelola A. Hasan, bersamaan dengan kepindahan A. Hasan ke Bangil, sebagian santrinya pun ikut ke Bangil. Sementara pesantren kecil yang dipimpin oleh E. Abdurrahman terus mengembangkan diri di Bandung dan tetap berjalan hingga masa pendudukan Jepang. Pada saat revolusi fisik (1945 – 1949) pesantren Persis di bawah pimpinan E. Abdurrahman diungsikan ke Gunung Cupu, Ciamis. Baru setelah berakhirnya revolusi fisik, Pesantren Persis kembali lagi ke Bandung dan terus mengembangkan jenjang pendidikannya hingga tingkat mualimien.

Dalam aktivitas organisasi di jam'iyyah Persatuan Islam, ustadz E. Abdurrahman menunjukan sikap loyal dan ikut aktif sebagai anggota Persis sejak tahun 1934. jabatan dalam jam'iyyah yang pertama kali dipegangnya adalah ketua bagian tabligh dan pendidikan pada tahun 1952. Dalam tahun 1953 (pada Muktamar ke-5 di Bandung) ustadz E. Abdurrahman terpilih sebagai Sekretaris Umum PP. Persis mendampingin K.H.M. Isa Anshary sebagai Ketua Umum.

Pasca Muktamar Persis ke VII, pada tahun 1962 K.H..E. Abdurrahman terpilih sebagai ketua umum PP. Persis melalui referendum. Periode kepemimpinan K.H..E. Abdurrahman ini merupakan periode kepemimpinan Persis ketiga setelah berakhirnya kepemimpinan K.H..M. Isa Anshary. Periode kepemimpinan Persis ke tiga ini merupakan regenerasi kepemimpinan dari tokoh-tokoh generasi pertama Persis kepada eksponen Pemuda Persis yang merupakan organisasi otonom Persis tempat pembentukan kader-kader Persis. Tampilnya K.H..E. Abdurrahman, Eman Sar'an, Rusyad Nurdin, dan E. Bachrum yang merupakan mantan pimpinan pemuda Persis periode awal membuktikan adanya pewarisan tongkat estafet kepemimpinan kepada kelompok muda dari organisasi bagian otonom Persis.

Berbagai persoalan mulai muncul pada masa kepemimpinan K.H.E. Abdurrahman. Namun masalah yang paling mendasar adalah bagaimana mempertahankan eksistensu Persis di tengah gejolak sosial politik yang tidak menentu. Jihad perjuangan Persis dihadapkan pada masalah-masalah politik yang beragam. Pembubaran partai Masyumi oleh Soekarno karena dianggap kontra revolusi, dan lepasnya Persis sebagai anggota istimewa Masyumi, serta ancaman akan dibubarkannya Persis oleh pemerintah Orde Lama karena tidak memasukan Nasakom dalam Qanun Asasi Persis, sampai pada meletusnya G.30 S/PKI merupakan masalah-masalah politis yang dihadapi pada masa awal kepemimpinan K.H.E. Abdurrahman.

Bagaimanapun, pergeseran besar telah terjadi dalam kegiatan politik Indonesia sejak. Apalagi dengan tersingkirnya kelompok-kelompok sayap kiri yang terpenting karena dilarangnya PKI dan dilenyapkannya kepemmpinan sayap kiri PKI di dalam PNI. Dengan demikian harapan baru pun mulai timbul di kalangan Islam. "Perbenturan kekuatan" telah sirna dan berakhir dengan kemenangan suatu format politik baru, dan ini menunjukan awal perkembangan setelah tahun 1965 dalam babakan baru sejarah Indonesia; penindasan dan ancaman telah lenyap, surat kabar dan majalah diperkenankan terbit kembali. Pada tanggal 16 Desember 1965 dibentuk Badan Koordinasi Amal Muslimin yang mempersatukan 16 organisasi Islam yang ingin mengusahakan rehabilitasi Partai Masyumi.

Setelah Soekarno disisihkan dari kegiatan politik aktif ( sejak dikeluarkannya surat perintah 11 Maret 1966), para mantan pemimpin Masyumi mengharapkan bahwa Masyumi segera diizinkan kembali melakukan kegiatan, dan dengan anggapan merekalah yang menentang Demokrasi Terpimpin Soekarno. Namun, harapan baru itu menimbulkan kekecewaan baru. Sebab, sejak bulan Juni 1966 diumumkan suatu pernyataan perwira-perwira tentara yang terutama diarahkan terhadap Soekarno untuk mencegah kegiatan dan intriknya lebih lanjut. Akan tetapi pernyataan ini sekaligus menerangkan bahwa militer "akan mengambil tindakan tegas terhadap siapa pun, dari pihak manapun, dan golongan apa pun yang menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945". Penyataan ini merupakan kecenderungan menduga para pemimpin Masyumi terlibat dalam pemberontakan PRRI di tahun 1958 dan sebagai suatu alasan untuk menerapkan larangan itu. Beberapa orang percaya bahwa pemerintah tidak ingin menyaksikan Masyumi direhabilitasi karena adanya kecenderungan partai ini untuk membentuk partai Islam.

Lenyapnya Masyumi dari gelanggang politik menyebabkan terjadinya kekosongan tempat untuk menyalurkan aspirasi politik aliran Islam modernis seperti Muhammadiyah dan Persis. Itulah sebabnya pada tahun 1964 timbul keinginan Muhammadiyah untuk mendirikan Partai Islam Indonesia (PII). Namun, karena semangat rehabilitasi Masyumi masih cukup besar pada waktu itu, maka usaha itu terbengkalai. Pada tahun 1967, juga terdengar berita bahwa Bung Hatta dan para alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bermaksud mendirikan partai pengganti Masyumi yang disebut "Partai Demokrasi Islam Indonesia" (PDII). Akan tetapi sebagaimana PII, PDII pun tidak kunjung terlaksana.

Setelah lahirnya Orde Baru, dengan anggapan bahwa di bawah kepemimpinan Soeharto akan lebih demokrat dibandingkan Soekarno, ide rahabilitasi Masyumi semakin besar. Namun usaha ini hanya mampu melahirkan "Partai Muslimin Indonesia" (PARMUSI) di bawah pimpinan Djarnawi Hadikusuma dan Lukman Harun sebagai sekretaris jenderal (1968-1970). Partai Muslimin Indonesia (semula disingkat PMI kemudian Parmusi) lahir pada tanggal 7 April 1967 yang dimaksudkan sebagai kelanjutan Masyumi dengan nama lain. Pemerintah Orde Baru setuju, tetapi beberapa perwira tentara tertentu berkeberatan dengan keikutsertaan para mantan pemimpin Masyumi dalam partai tersebut. Pada tanggal 24 Oktober 1967 Muhammad Natsir memutuskan untuk mengundurkan diri dari kepemimpinan partai tersebut.

Sikap Persis di bawah pimpinan K.H.E. Abdurrahman terhadap Parmusi menunjukan sikap yang kurang responsif, dan menolak untuk menjadi anggota Parmusi dengan alasan pimpinannya tidak dipilih oleh umat. Dalam masalah ini Pimpinan Pusat Persis sering menyampaikan pernyataan-pernyataan lisan maupun tulisan pada badan legislatif dan eksekutif, walaupun Persis merupakan organisasi non-politik.

Selain menghadapkan jihadnya kepada masalah-masalah politik, Persis menghadapi pula aliran-aliran yang menyesatkan umat Islam, diantaranya aliran pembaharu Isa Bugis, aliran Islam Jama'ah, Darul Hadist, Inakrus Sunnah, dan berbagai macam aliran yang sesat dan menyesatkan. Untuk menghadapi aliran-aliran sesat dan sesat ini, para Mubaligh Persis dan Mubalighat Persistri dan Jam'iyyatul Banaat (sekarang Pemudi Persis) terjun kedaerah-daerah secara rutin dengan melaksanakan tabligh keliling.

Permasalahan intern organisasi pun dihadapi pada masa kepemimpinan K.H.E. Abdurrahman ini, terutama setelah terjadinya G.30 S/PKI, karena adanya anggota-anggota yang diragukan itikad baiknya dalam organisasi Persis. Pengawasan ketat dilakukan karena Persis selain menghendaki dan mengutamakan kualitas pelaksanaan pengamalan ajaran agama yang berdasarkan ajaran Alquran dan Sunnah, juga menghendaki mengutamakan kualitas pelaksanaan disiplin organisasi yang berdasarkan Qanun Asasi, Qanun Dakhili, peraturan-peraturan, Tausyiah, dan seperangkat tata kerja yang berlaku dalam organisasi. Adapun kuantitas, tidak berarti diabaikan, melainkan sangat dikhawatirkan manakala jumlah yang banyak itu hanya menambah beban dan merupakan buih saja, tidak akan memberi manfaat sebagaimana yang diharapkan, bahkan sebaliknya akan mendatangkan madarat bagi keutuhan tegaknya jam'iyyah.

Pengawasan yang ketat inilah yang menjadi ciri dari masa kepemimpinan K.H.E. Abdurrahman, hal ini dilatarbelakangi oleh adanya pemalsuan nama organisasi Persis untuk keuntungan pribadi yang mengatasnamakan organisasi. Selain itu putusnya hubungan antara Pusat Pimpinan Persis dengan cabang-cabang Persis yang ada di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi ini pun diakibatkan adanya peristiwa G. 30 S/PKI. Sebagai perbandingan, tahun 1964 terdapat 63 cabang dengan jumlah anggota 7.173, sedangkan pada 1967 turun menjadi 56 cabang dengan jumlah 4.455 anggota. (Lihat arsip Muktamar/muakhot Persis tanggal 16-18 Januari 1981, hal. 9). Hal ini menunjukan penurunan jumlah anggota Persis jika dibandingkan dengan jumlah cabang dan anggota pada tahun 1964 yang mempunyai jumlah cabang dengan hanya 56 cabang dan 4.455 orang anggota, dan pada tahun 1980 terdapat 81 cabang dengan jumlah anggota hanya 3.717 orang. Ini merupakan perbedaan yang mencolok antara jumlah cabang dan banyaknya anggota.

Dalam hal ini dapat difahami, karena yang menjadi dasar dari K.H.E. Abdurrahman sebagai Ketua Umum PP. Persis tentang keanggotaan Persis dijelaskan dalam khutbah Iftitah pada Muakhot Persis tanggal 16 Januari 1981, beliau menyatakan:
" ….Bila lahir pertanyaan, kenapa Persatuan Islam ini tidak ada kemajuan, hanya berputar-putar di sana; maka jawabnya, begitulah Persatuan Islam, yang senantiasa thawaf, berputar dalam lingkaran mardlatillah!
Meskipun anggota Persatuan ini anggotanya bisa dihitung dengan jari, tetapi pengaruhnya cukup besar; banyak ajaran Persatuan Islam yang sekarang dilakukan oleh mereka yang tidak akan mengaku bila dikatakan orang Persatuan Islam.

"…Maka terimalah segala apa yang telah kita rasakan, janganlah terlalu berangan lebih jauh; tetapi yang pokok bagi kita adalah meningkatkan kerja, untuk membina hari esok yang lebih baik, yakni hari esok di akherat. Sedangkan dari pembinaan hari esok untuk akhirat itulah akan tercipta pula hari esok dunia yang lebih cerah; perhatikan waktu yang tengah kita alami ini, sebab hari esok kita sangat tergantung dengan amal kita pada hari ini.

"….Maa'amilat aidihim liyakulu min tsamarihi", kita umat manusia hanya menanam, hanya Allah yang akan menumbuhkannya, dan kita akan memakan buahnya; hanya Allah yang akan menumbuhkannya, seperti diutusnya para rasul dan nabi, yang hanya menanamkan badratul iman, tetapi karena tumbuh disiram, maka wujudlah Abu Bakar, Umar, dan Utsman, wujudlah Khalid bin Walid.

Karena itu, janganlah mengharapkan pekerjaan yang bukan garapan kita, membangun sekolah ini tidak cukup dengan tukang kayu, tetapi diperlukan tukang tembok; mereka menjadi saling pelengkap untuk menumbuhkan suatu bangunan, menciptakan suatu rumah, suatu sekolah, atau suatu bangunan megah.

Negara kita lengkapilah dengan suatu yang dibutuhkan, rakyat Indonesia di masa yang akan datang apa agamanya, tergantung dengan perjuangan apa kita sekarang; janganlah mengerjakan sesuatu yang bukan pekerjaan kita, keahlian kita, kita tidak mau untuk melakukan sesuatu yang bukan garapan kita!.

Semua itu jangan menyedihkan kita, menyusahkan kita, zaman sekarang perlu juga mubaligh, da'i, agar agama senantiasa berjalan sesuai dengan jalurnya!

Betul kita sedikit, tetapi pengaruh kita cukup kuat, hampir seluruh Indonesia terpengaruh dengan faham kita, meskipun mereka tidak mau dikatakan Persatuan Islam!

Kalau dahulu ditakdirkan Persatuan Islam tidak ada, wajah umat Islam di Indonesia tidak akan seperti ini; kalau kebiasaan khutbah Jumat tetap berbahasa Arab, tidak diubah, bagaimana keadaan umat Islam sekarang ini?

Kita tidak perlu menepuk dada, bukan maksud kita menepuk dada, tetapi kita menerangkan suatu kenyataan, seperti diterangkan dalam suatu ensiklopedi, bahwa Persatuan Islam itu adalah; "Jam'iyyatul Ittihad Islamy Mu'adadatun Shagiratun Kabirun Nufus". Artinya Persatuan Islam adalah yang tergolong kecil, tetapi memiliki pengaruh yang besar.

Kita harus sabar dan ikhlas dalam berjuang, sebab Rasulullah juga tidak langsung berhasil dalam perjuangannya, memerlukan waktu yang panjang!

Jika melihat aktivitas organisasi di masa kepemimpinan K.H.E. Abdurrahman sejak tahun 1962 hingga 1983, menunjukan kecenderungan pada kegiatan-kegiatan sekitar tabligh dan pendidikan dari tingkat pusat hingga ke tingkat cabang. Hal ini tidak lepas dari langkah dan kebijakan yang diambil oleh K.H.E. Abdurrahman, sebab menurut Muhammad Natsir (Fauzi Nur Wahid, 1988:67) K.H.E. Abdurrahman lebih banyak mewarnai arah dan perjuangan Persis dengan tabligh-tabligh dan pengembangan lembaga-lembaga pendidikan (pesantren), sehingga Persis sebagai organisasi massa tidak memperlihatkan langkah perjuangan ke arah politik. K.H.E. Abdurrahman dalam memimpin organisasi Persis lebih memprioritaskan pada "organisasi agama" ; sebab ia mengambil pola kepemimpinan ulama, bukan political leaders.
Read More..

Pandangan Tokoh


Mohammad Natsir:
Ustad Rusyad Prajurid Pembawa Bendera

Masih tampak-tampak rasanya Rusyad mengepit-ngepit buku waktu sekolah MULO Pendis (SMP Pendidikan Islam) yang saya pimpin di Lengkong Besar di Bandung. Ia termasuk murid-murid yang serius. Tak banyak ngomong. Tenang-tenang saja, asal ‘tali kupingnya’ tidak tersinggung. Bila terjadi yang demikian, dia bangun. Tampak kepribadiannya untuk mempertahankan apa yang diyakininya sebagai barang hak.
Waktu dia tamat sekolah Kweekschool (Sekolah Guru) Pendis dengan angka-angka yang baik, dianggapnya sebagai barang yang logis saja bila dia harus memberikan tenaga untuk membina lembaga pendidikan swasta ini: Pendidikan Islam yang ingin melaksanakan satu sistem alternatif. Alternatif dari sistem pendidikan yang menitikberatkan kepada pembentukan pribadi. Pribadi yang berkeseimbangan daya fikir dan hati nuraninya, seimbang daya cipta dan taat tawakal kepada Allah SWT.

Lembaga pendidikan ini terdiri dari Taman Kanak-Kanak, Sekolah Rakyat, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Guru dalam satu kompleks. Tapi hanya dapat berumur 10 tahun karena ditutup oleh Pemerintah Jepang, waktu Jepang masuk ke Indonesia di tahun 1942. Pada tahap pertama semua sekolah, sekolah pemerintah ataupun swasta ditutup termasuk Pendidikan Islam, dimana Rusyad sudah turut menyumbangkan tenaganya sebagai guru. Pesantren-pesantren tidak diganggu oleh Jepang.
Zaman beredar. Jepang kalah, Belanda hendak kembali. Kita proklamirkan Republik Indonesia. Perang gerilya dengan Belanda mulai. Rusyad meninggalkan kota Bandung bersama-sama dengan pejuang-pejuang kemerdekaan lainnya, dan sama-sama menyusun kekuatan untuk perang gerilya di pedalaman.
Musim berganti pula. Perjuangan senjata disambung dengan perjuangan di meja perundingan, Linggarjari, Renville. Jawa Barat dikosongkan dari TRI, pindah ke daerah Yogyakarta.
Umat yang merasa ditinggalkan memerlukan bimbingan. Rusyad beserta teman-temannya tetap di pedalaman ibarat penjaga gawang. Umat memerlukan bimbingan, lebih-lebih di saat-saat demikian itu.
Akhirnya perjuangan di papan catur diplomasi berhasil. Kedaulatan Republik Indonesia diakui dunia. Tapi, Republik masih meninggalkan luka-luka dari perjuangan kemerdekaan.
Rusyad Nurdin kembali ke pesantren Persis.
Yang dirasakan lambat laun adalah keperluan adanya lembaga pendidikan Islam tingkat universitas untuk menampung lepasan madrasah ‘Aliyah dan sekolah-sekolah tingkat SLTA lainnya.
Bersama-sama dengan teman seperjuangannya seperti Ustadz Qomaruddin, Ali Dahlan, Khusnun, Krisdoharsoyo, Oya Somantri, Hasan Natapermana dan lain-lain, Rusyad dengan tawakkal mempelopori adanya Universitas Islam Pertama di Bandung. Sementara menggunakan gedung bekas kantor Masyumi di jalan Abdul Muis. Kemudian Prof. Sadali dan Ir. Nukman membangun lokal pertama dari Universitas yang sekarang bernama Unisba ini.
Orang mulai kenal siapa Rusyad Nurdin itu sebenarnya. Dengan tidak ragu-ragu ITB memintanya untuk menjadi dosen agama ITB.
Dia diperlukan di berbagai kota di Jawa Barat, di Jakarta, di Surabaya, Yogyakarta, dan lain-lain oleh urat-urat masyarakat untuk memberi tuntunan rohani. Tapi tidak kurang pula di mesjid Salman dan perguruan-perguruan tinggi lainnya oleh calon-calon pimpinan ummat di masa depan. Pembinaan fondamen manusiawi bagi bangsa-bangsa dan negara.
Ustad Rusyad mengatakan bahwa yang berperang itu bukanlah jenderal-jenderal saja, tapi juga dan tidak kurang pentingnya prajurit-prajurit; dan Ustadz Rusyad senang berperang sebagai prajurit. Tapi seorang prajurit yang memegang bendera, tanpa samar-samar!
Apa senjatanya? Ilmu, keyakinan, dan akhlak!
Akhlakul karimah
Kalau senjata api bisa menghancurkan musuh banyak, akhlakul karimah, bisa menjadikan lawan jadi kawan.
Dan bukankah tidak ada orang yang lebih baik perkataannya daripada seorang yang mengajak ke jalan Allah dan beramal saleh dan berkata sesungguhnya aku ini termasuk orang yang berserah diri kepada Allah SWT.
Tolaklah dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara kamu dan dia terdapat permusuhan itu pun seolah-olah menjadi teman yang sangat setia.
Inilah yang dipegang Ustadz Rusyad Nurdin dapat terus lagi menuntun ummat, yang amat menghajatkan bimbingannya, amin.

A. Latief Muchtar:
Mengenal KHM. Rusyad Nurdin dari Meneer ke Al-Ustadz

Al-Ustadz M. Rusyad Nurdin adalah salah seorang guru saya ketika pertama kali saya memasuki pendidikan formal, Pendis (Pendidikan Islam) di bawah pimpinan Bapak M. Natsir. Beliau dipanggil Meneer Rusyad selaku guru di Pendis yang dihormati. Panggilan Meneer yang berarti tuan menunjukan masih dominannya bahasa Belanda karena memeang Pendis didirikan untuk mencetak kaum intelektual Muslim pada jaman penjajahan Belanda. Pendis mengambil tempat di jl. Pangeran Sumedang, yang kini berubah namanya menjadi Jl. Otto Iskandardinata, dan tempatnya kini dipakai oleh Panin Bank.
Pada zaman Jepang sampai proklamasi kemerdekaan Indonesia, tempat pendis ini menjadi tempat Pesantren Persatuan Islam di bawah pimpinan almarhun KHE. Abdurrahman. Pendidik M. Rusyad Nurdin tidak lagi dipanggil meneer, tetapi dipanggil ustadz, karena beliau menjadi guru pesantren yang mengajar mata pelajaran agama dan umum.
Sungguhpun saya sudah mengenal dan bergaul lama dengan al-Ustadz M. Rusyad Nurdin, namun saya tidak tahu persis asal-usul beliau, bagaimana beliau sebagai seorang perantau dari daerah seberang, Sumatera Barat, bisa betah dan terpikat oleh Persis sebagai mujaddid. Mungkin diantara sebabnya ialah bahwa beliau termasuk yang tidak suka menceritakan keadaan dirinya, apalagi membanggakannya. Inilah kesan saya yang pertama.
Selama saya belajar di Pesantren Persatuan Islam pada zaman Jepang, al-Ustadz M. Rusyad Nurdin masih bujangan dan tinggal seorang diri di pesantren yang terletak di jalan Pangeran Sumedang itu. Keadaan ini memberi kesan kepada saya, bahwa beliau hidup sederhana dan prihatin di rantau orang, bahkan kesederhanaannya itu menjadi wataknya. Kesederhanaan itu terpantul dalam sikap, penampilan, tingkah laku dan cara berpakaian. Kesederhanaan itu terpantul dalam sikap, penampilan, tingkah laku dan cara berpakaian. Kesederhanaan ini dipertahankannya dalam segala situasi dan kondisi yang berubah sepanjang zaman yang merentang sampai usia senja beliau.
Sikap dan penampilan yang konstan ini menimbulkan kesan berikutnya, bahwa beliau mempunyai watak istiqamah, sekaligus memancarkan jiwa yang mutmainnah, tidak goyah dalam akidah, ibadah, bahkan dalam pendirian sikap siyasah sebagai perwujudan nilai segi mu’amalah.
Al-Ustadz Rusyad Nurdin sebagai guru, pendidik, dan dosen di pelbagai perguruan Tinggi Umum dalam mata kuliah Agama Islam dan Akhlak (Etika) menampilkan seorang yang berwibawa dan memikat, bahkan berbekas, sehingga hasilnya dapat kita rasakan cukup kondusif untuk pembinaan agama masa selanjutnya.
Sebagai pendidik, beliau tidak hanya mendidik mental spiritual keagamaan pada zaman Jepang di Pesantren Persis, tetapi juga mengasuh murid-muridnya dalam kesehatan jasmani, berolah raga di lapangan Pasar Pungkur dulu. Menghadapi revolusi fisik tahun 1945, beliau mempersiapkan murid-murid pesantren dan para pemuda lainnya untuk ketahanan fisik yang disebut kioreng atau latihan bela diri pada waktu itu. Waktu revolusi beliau sendiri menjadi komandan Hizbullah dengan membawa serta anak buahnya.
Al-Ustadz Rusyad Nurdin sebagai mubaligh atau dai mempunyai teknik tersendiri, yakni mengakhiri uraiannya pada saat orang sedang senang-senangnya memperhatikan uraian beliau. Pidato, ceramah, atau khutvahnya singkat, tidak bertele-tele, namun mengandung mutiara hikmah yang mengesankan dan membekas karena disampaikan dalam tutur bahasa yang mudah difahami, dengan gaya dan intonasi yang meyakinkan. Penampilan ini selalu menimbulkan rasa penasaran bagi para pendengarnya.
Sebagai pemimpin partai politik di masa lampau dan pemimpin di masyarakat sampai sekarang, Al-Ustadz Rusyad Nurdin mempunyai akar ke masyarakat muslim, khususnya di Jawa Barat sungguh pun beliau bukan berasal dari tatar Sunda. Namun demikian, beliau tidak ambisius, tidak suka menonjolkan diri, tidak hubbuddunya wa riyasah, tetap komitmen kepada al-haq, istiqamah dalam pendirian, dan tidak pernah berhenti dalam menegakan yang ma’ruf dan menangkal yang munkar.
Sebagai kepala keluarga, Al-Ustadz Rusyad Nurdin berhasil dalam membina keluarga yang sakinah, tentram dan harmonis sungguhpun putera puterinya belasan, karena didampingi seorang ibu yang penuh mawaddah wa rahmah.
Berbahagialah Al-Ustadz Rusyad Nurdin, karena sudah banyak amal saleh yang diberikan kepada ummat sepanjang sejarah hidup dan perjuangannya, sehingga mudah-mudahan dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana diungkapkan oleh Ali bin Abu Thalib r.a. :
“Yang bodoh jangan ditanya mengapa mereka tidak belajar, sehingga ditanya dulu ulama mengapa mereka tidak mengajar.”

• A. Latief Mukhtar adalah Ktua Umum PP. Persis Periode …

Jalaludin Rahmat:
KHM. Rusyad Nurdin Dai Reformis dan Nonkorformis

Ada seorang Pemuda Surabaya pindah ke Bandung. Pengalaman pertama yang menarik perhatiannya adalah shalat di mesjid Persis, di Pajagalan. Mesjid itu, baginya, mesjid yang aneh – jauh berbeda dari suasana tradisional seperti yang terdapat di mesjid-mesjid di Jawa Timur. Menjelang Jum’at, tidak ia dengar gemuruh bacaan shalawat alau AL-Quran. Tidak ada suara beduk, tidak ada azan awal. Lalu muncul khatib dengan pakaian seadanya- tanpa sorban, tanpa jubah, tanpa baju takwa yang tradisional, juga …tanpa tongkat. Hatinya mulai resah. Ia tidak merasa pas berada di situ.
Tetapi ketika khatib mulai berkhutbah, ia terpesona. Khatib itu menyentuh serabut-serabut hatinya yang paling halus. Ia hampir menangis. Jum’at berikutnya, ia datang lagi ke situ. Sekarang, khatib berbicara dalam dua bahasa. Khutbah pertama, bahasa Indonesia; khutbah kedua bahasa Sunda (yang tentu saja tidak ia pahami). Kali ini, khatib berbicara dengan fasih tentang tafsir Al-Quran. Jumat berikutnya lagi, ia mendengar khatib yang suaranya keras, sampai nafasnya terasa menyapu rambut arek-arek Suroboyo ini – yang kebetulan duduk di depan mimbar. Khatib ini pun menakjubkan. Ia rupanya anggota konstituante. Ia berbicara tentang ideologi politik Islam, dengan bahasa yang sederhana, tetapi “menyetrum”.
Setelah terus menerus shalat Jum’at di mesjid Persis itu, ia mulai mengenal para khatibnya. Khatib yang spesialisasinya akhlak adalah Ustadz Rusyad Nurdin; khatib dua bahasa adalah Ustadz Abdurrahman; khatib ideologi politik adalah Ustadz Isa Anshari. Ada lagi khatib-khatib yang lain, dengan gaya dan keahlian masing-masing. “Sebuah tim yang lengkap”, kata pemuda Surabaya itu. Secara perlahan-lahan, ia mulai diraksuki faham reformisme. Kini, pemuda itu sudah tidak muda lagi. Ia bernama Ahmad Masyur Suryanegara. Ketua Jurusan Sejarah Unpad dan Muballigh sekaligus.
“Sayang” ujar Mansur, “Tim itu sekarang sudah tidak lengkap lagi” Mesjid Persis tidak lagi mempesona seperti dulu. Banyak diantara mubaligh-mubaligh Persis yang dikaguminya sudah dipanggil Allah SWT., :Ustadz Abdurrahman, Ustadz Isa Anshari, Ustadz Isa Anshari, Ustadz Qomarrudin Shaleh. Yang masih dapat dilihatnya dan didengarnya tinggal Ustadz Rusyad Nurdin. Kapan saja ia melihat Ustadz Rusyad Nurdin, ia seakan-akan melihat sebuah dunia yang makin pudar, dunia masa lalunya. Sementara itu, dunia barunya belum lahir.
Pelajaran dari Ustadz Rusyad
Betulkah Ustadz Rusyad mewakili dunia Islam yang lalu? Betulkah ruh reformisme Ustadz Rusyad telah menjadi anakronisme? Betulkah Ustadz Rusyad mencerminkan mentari yang hampir tenggelam, seperti dilukiskan Goethe (dan dikutif Ustadz Isa Anshari dalam sebuah bukunya):
Niedergegangen ist die Sonne
Doch im Western glanzt es immer
Wissen ich wohl wie lange
Dauert noch der goldene Schimmer

(Sudah tenggelam sang surya
Di Barat ia masih berkilau
Kuingin tahu gerangan berapa lama
Cahaya emas itu bakal berjaya)

Seperti Ahmad Mansur Suryanegara, saya menjadi pengagum Ustadz Rusyad. Saya terharu ketika mendengar ceramahnya di Unpad. Waktu itu saya duduk di lapangan Unpad, sebagai peserta pramahasiswa yang melelahkan. Saya tidak ingat lagi apa yang beliau ingatkan. Saya hanya ingat pesannya tentang bahaya ilmu yang dijauhkan dari nilai-nilai moral agama. Saya terkesan dengan bahasa Indonesianya yang jernih, jelas dan menyentuh. Saya takjub dengan caranya mengisahkan hadits Nabi saw. Yang naratif: “Pada suatu hari di jaman Rasulullah saw . . . dst” saya terpesona dengan kefasihannya melukiskan degradasi kemanusiaan di dunia barat. Ketika kemudian saya menjadi mubaligh, saya berusaha menirunya dan saya gagal.
. . . Ustadz Rusyad adalah matahri yang sedang naik. Saya ingin menyebut dua hal saja dalam ceramahnya yang bukan saja sangat relevan dengan zaman. Teapi juga mengilhami (inspiring) terapi terhadap krisis zaman ini.
Ceramah yang menyentuh hati. Gaya khas Ustadz Rusyad adalah pembicaraan yang menyentuh hati, yang menimbulkan keharuan, yang padat dan serius. Dengan wajah yang tenang misalnya, Ustadz Rusyad berkisah, “Pada suatu hari di zaman Rasulullah saw., diberitakan kepadanya tentang seorang wanita yang shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi sering menyakiti tetangganya. Bagaimana perempuan itu ya Rasulullah- kata sahabat-sahabatnya”. Ustadz Rusyad berhenti sejenak. Pendengar diajak cemas, menunggu jawaban Rasul yang mulia. Ustadz Rusyad melanjutkan, “Rasulullah berkata: IA DI NERAKA”. Hadirin terhenyak; ucapan Rasulullah –yang disampaian Ustadz Rusyad- menyobekan suatu sudut dalam hati mereka.
Ustadz Rusyad sering mengutip kejadian-kejadian aktual yang mempunyai nilai human interest. Kadang-kadang yang dikisahkan adalah tragedi anak manusia yang meninggalkan agama. Apa pun yang dikisahkannya, yang ditujunya adalah jantung kita, hati kita yang paling dalam. Tidak jarang orang meneteskan air mata karena khotbahnya. Tidak sedikit yang pulang dari pengajiannya membawa hati yang baru, hati yang disinari hidayah.
Gaya bicara Ustadz Rusyad meniru sunnah Rasulullah saw., bukankah dikisahkan bahwa Rasulullah adalah orang yang paling banyak tertawa, kecuali ketika ia sedang berkhutbah? Bukankah ‘Irbadh bin Sariyah pernah bercerita, “Suatu hari Rasulullah saw., menasihati kamu dengan nasihat yang menggetarkan hati kami dan meneteskan air mata kami. Para saabat berkata- Ya Rasulullah seakan-akan ini nasihat yang penghabisan. Berilah kami wasiat”? buknkah Nabi saw., pernah mengumpamakan dirinya sebagai orang yang berlari memperingatkan kaumnya tentang musuh yang akan menyerang mereka di balik bukit?
Begitulah gaya Rasulullah berkhotbah. Gaya ini sekarang ditinggalkan oleh kebanyakan mubaligh. Ustadz Rusyad tidak. Ia masih berpegang pada “pakem” dakwah nabawiyah. Para mubaligh kini tampil dengan gaya “yang ringan dan lucu.” Mereka tidak lagi menyentuh hati; mereka berusaha mengocok perut. Tuntutan pun berubah menjadi tontonan. Menarik sekali, ketika beberapa orang pelawak berusaha menjadi mubaligh, banyak mubaligh berusaha menjadi pelawak. Yang menyakitkan lagi, kadang-kadang yang dijadikan lelucon itu ayat-ayat Al-Quran yang suci (perhatikan, misalnya, kisah Qul A’udzu birrabbin nasi) dengan tekanan pada kata si, yang tidak sanggup saya turunkan lagi di sini). Boleh jadi para mubaligh itu memilih gaya lawak untuk memenuhi “selera konsumen”. Boleh jadi juga mereka ingin memberikan hiburan-hiburan kepada umat yang tengah dirundung malang. Apa pun yang terjadi, menjadikan ayat-ayat Allah sebagai permainan adalah tindakan yang keji. “Tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai permainan dan hiburan serta tertipu oleh kehidupan dunia.” (Al-Quran, 6: 51).
Saya tidak ingin gaya Ustadz Rusyad – yang padat, serius, dan menyentuh hati – itu menjadi mentari yang terpendam. Sebab bila gaya itu hilang, kita kehilangan sunnah Rasulullah saw. Ceramah Ustadz Rusyad adalah contoh sunnah Nabi yang masih hidup. Kini, di saat hati mengeras karena materialisme, kita memerlukan siraman ruhani yang mendalam – bukan dagelan yang dangkal.
Integritas Muslim. Spesialisasi Ustadz Rusyad adalah akhlak. Yang sering beliau tekankan dalam ceramah-ceramahnya adalah integritas Muslim kepribadian yang tegak istiqamah dalam aqidah Islamiyah, yang tidak dapat dibeli, yang tidak bisa ditakut-takuti. Ustadz Rusyad sering mengeritik para ulama yang sudah menjual keyakinannya kepada para penguasa, yang fatwanya mudah dibeli. “Ketahuilah mereka itu perampok” begitu Ustadz Rusyad mengutip hadits Rasulullah saw.
Pada saat yang sama, Ustadz Rusyad sering memberi contoh para penguasa Muslim yang memiliki integritas. Mereka menegakan keadilan Islam tanpa pilih bulu. Saya masih terkesan bagaimana Ustadz Rusyad mengisahkan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang diajukan ke pengadilan karena urusan baju besinya yang hilang; juga ketika beliau bercerita tentang anekdot-anekdot dari kehidupan Umar bin Khatkhab. Beliau bercerita tentang tindakan Umar yang mengambil kalung dari istrinya, sebab kalung itu dihadiahkan orang –menurut Umar- karena kedudukan Umar sebagai khalifah. Lewat cerita itu, beliau mengecam korupsi-korupsi bukan hanya menggelapkan uang kotor. Korupsi juga memanfaatkan fasilitas yang dimilikinya untuk memperkaya diri. Ustadz Rusyad mengingatkan kita pada teori Ibnu Khaldun, ketika ia menuturkan sosiologi kota. Para penguasa –menurut Ibnu Khaldun- akan mudah menjadi kaya. Mereka mempunyai wewenang, dan banyak orang yang membutuhkan wewenang yang dimilikinya. Wewenang adalah komiditi yang tidak pernah rugi untuk diperjualbelikan.
Tema ulama yang istiqomah selayaknya kita hidupkan lagi. Jangan biarkan Ustadz Rusyad sendirian. Jangan biarkan tema ini menjadi mentari yang tenggelam. Tidak ada bencana yang lebih besar bagi umat Islam selain munculnya “ulama upahan” (mutathafilin), ‘ulama sponsor yang fatwanya “kallun ‘ala mawlah”. Kini kita perlu mengembalikan lagi ‘ulama kepada umat. ‘ikutilah “ulama sebelum sebelum mereka mengikuti dunia”, kata Rasulullah saw. Sahabat bertanya: Apa artinya mengikuti dunia ya Rasulullah? Nabi yang mulia menjawab: Ittiba’u s-sulton (mengikuti penguasa).
Ustadz Rusyad adalah Al-Ghazali masa kini. Kecaman Al-Ghazali pada ulama su pada Ihya Ulum-ad-Din jilid I adalah kecaman Ustadz Rusyad juga.
Tema penguasa yang adil adalah tema yang juga diajarkan Ustadz Rusyad untuk kita semua. Mengupas tema ini memang mengandung resiko yang lebih besar, ketimbang berbicara tentang pedoman keluarga sakinah. Tidak semua mubaligh tertarik atau memiliki keberanian. Kita memerlukan Rusyad-Rusyad yang baru. Bukankah jelas satu tugas pelanjut da’wah nabawiyah adalah “meringankan beban atau penderitaan ummat dan membebaskan mereka dari belenggu-belenggu yang memasung (kebebasan) mereka” (Al-A’raf: 157).
Khulashah
Dari segi waktu, Ustadz Rusyad memang mewakili generasi yang tengah pergi. Ia mencerminkan mentari yang sedang tenggelam. Dari segi tema akhlak yang mulia, ia tetap tegak sebagai pengawal moral yang kokoh. Ia tidak akan pernah tenggelam. Ia akan dikenang terus. Seorang Rusyad boleh meninggalkan kita, akan tetapi akhlak Rusyad dalam menyampaikan ceramahnya-sentuhan hati, integritas Muslim – tidak boleh menjadi mentari yang tenggelam.
Read More..

KHM. Rusyad Nurdin



Editor : Ahmad Jack

M. Rusyad Nurdin dilahirkan pada hari Selasa 17 April 1918 M di kampung Baruh Gunung, Kecamatan Suliki, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat.
Waktu ia masih kecil, sebelum sekolah, di kampungnya ada surau kecil yang dikenal dengan sebutan Surau Baru. Surau itu dibangun oleh seorang ulama bernama Kiayi H. Ahmad, sekembalinya dari menunaikan ibadah haji. KH. Ahmad dikenal sebagai ulama dari kaum golongan muda.
Surau Baru itu sangat makmur pada waktu itu, boleh dikatakan tidak pernah sunyi dari kegiatan-kegiatan keagamaan, lebih-lebih pada bulan Ramadhan. Surau itu juga merupakan sebuah pesantren dan banyak santrinya. KH. Ahmad dibantu oleh tenaga-tenaga muda dalam memberikan ajaran agama.
Namun, setelah KH. Ahmad wafat, Surau Baru perlahan mengalami kesepian. Bangunannya kian usang dan doyong. Kegiatan keagamaan mulai padam. Tak ada yang meneruskan jejak usaha KH. Ahmad, baik putera-puteranya maupun cucu-cucunya.

Saat masuk sekolah, M. Rusyad dimasukan ke Sekolah Rakyat HIS (Hollands Inlandse School), sekolah Belanda untuk anak-anak bumi putera. Tujuan ayahnya memasukannya ke HIS agar kelak ia dapat mengikuti jejak ayahnya sebagai Kepala Sekolah, atau kalau bisa mendapat jabatan yang lebih tinggi sebagai pegawai Gubernement.
Rusyad kecil tidak tahu buat apa ia sekolah. Tak satu pelajaran pun yang ia senangi, kecuali menulis dan menggambar. Bahasa Belanda pelajaran yang amat tidak disukainya. Ayahnya sering memarahinya dan memaksanya belajar malam, sedikitnya dua jam, dibawah pengawasan langsung ayahnya. Berkat pengawasan ketat itulah ia berhasil menamatkan HIS.
Tak berapa jaun dari rumahnya ada sebuah surau. Di situ ada pemuda-pemuda menuntut ilmu agama, diantaranya Zulkarnain dan Zamzami Kimin. Pada waktu-waktu tertentu, kedua pemuda tersebut sering main kerumah Rusyad Nurdin yang masih terikat kerabat. Melihat pemuda-pemuda itu, sang ibu ingin Rusyad seperti mereka, belajar agama dan menjadi ustadz. Keinginan ini sering diutarakan langsung kepada Rusyad. Rusyad hanya tersenyum menanggapi keinginan ibunya ide, dalam hati ia bergumam, “Menjadi pegawai Gubernemen saya tak mau, apalagi menjadi guru agama, menjadi ustadz!”.
Rupanya karena keinginan ibunya itu, Rusyad disuruh belajar agama, belajar membaca Al-Quran. Mula-mula ia belajar kepada seorang ustadz bernama Ustadz Idris. Tapi ia belajar hanya sebentar dan langsung minta berhenti, alasannya karena ustadz itu terlalu bengis. Hanya karena salah membaca satu huruf, ia sering dibentak dan kakinya dipukul dengan rotan sampai bengkak. Sesudah itu ia belajar pada Ustadz Muchtar. Orangnya lembut dan ramah. Dari ustadz Muchtar, Rusyad mendapatkan pelajaran dasar membaca Al-Quran.
Waktu Rusyad duduk di kelas 5, ayahnya dipindahkan sebagai Penilik Sekolah (School-opziener) ke Sungaipenuh. Maka Rusyad dan dua adiknya, Anwar dan Thursina, masing-masing duduk di kelas 4 dan kelas 3 HIS pindah ke Padang. Rusyad sendiri tinggal di rumah kakak tertuanya, Husin Sutan Mudo, yang pada waktu itu mengajar di Sekolah Roomsch Katholiek.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di HIS ia kemudian melanjutkan studinya ke Kelas Persiapan (voorklas) MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang. Semua gurunya orang Belanda. Rusyad Nurdin semakin tidak betah saja di sana. Ia muak mendengar guru-guru Belandanya berkata-kata dalam bahasa Belanda.
Baru sebulan duduk di bangku sekolah MULO, kakaknya pindah ke Payakumbuh untuk mengajar di Sekolah Schalkel Muhammadiyah (sederajat HIS). Rusyad dititipkan pada seorang teman kakaknya, Bapak Amarullah, guru HIS Adabiyah (swasta). Dua bulan setelah itu, Rusyad pindah ke MULO Bukit Tinggi dan tinggal bersama seorang paman, Ilyas Datuk Tunggak, pegawai kantor pos.
Di Bukit Tinggi, Rusyad Nurdin sedikit demi sedikit mempelajari agama, terutama waktu kakak iparnya D.P. Sati Alimin datang mengunjunginya. D.P. Sati Alimin adalah suami kakaknya, Jami’ah dan sekarang menetap di Payakumbuh. Sati Alimin bercerita tentang seorang sahabatnya, Bapak Muhammad Natsie, yang tinggal di Bandung (Jawa Barat) dan mendirikan Perguruan “Pendidikan Islam” yang meliputi sekolah-sekolah HIS, MULO dan Kweek School (sekolah guru). Satimin memberinya majalah Pembela Islam yang diterbitkan oleh Persatuan Islam di Bandung. Di dalam majalah itu terdapat tulisan-tulisan A. Hassan, Mohammad Natsir, Fachruddin Alkahiri, D.P. Sati Alimin dan banyak lagi pemimpin-pemimpin Islam yang lain tentang agama, politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain yang menarik perhatian Rusyad Nurdin.
D.P Sati Aliminlah yang pertama mencoba mengarahkan jalan hidup Rusyad Nurdin kepada agama. Ia menganjurkan supaya Rusyad mau melanjutkan pelajaran ke MULO dan Kweekschool “Pendidikan Islam” (Pendis) di Bandung.
Anjuran itu diterima Rusyad. Ia pun berniat pegi ke Bandung untuk melanjutkan studi.

Masa Pendidikan di Sekolah Menengah
Dengan do’a restu orang tua dan keluarga, Rusyad Nurdin berangkat meninggalkan Pulau Sumatra menuju Pulau Jawa dan terus ke Bandung, dimana terdapat sebuah perguruan “Pendidikan Islam” (Pendis) yang meliputi sekolah-sekolah HIS, MULO dan Kweekschool (sekolah guru). Karena di Bandung tidak ada keluarga tempat menumpang, ia tinggal di asrama, Internaat Kabupaten, khusus tempat penampungan pelajar-pelajar sekolah menengah, baik pemerintah maupun swasta. Tempatnya di jalan Balonggede ( SMA Pasundan sekarang).
Rusyad Nurdin masuk MULO “Pendis” dan diterima di kelas satu. Guru-gurunya diantaranya Muhammad Natsir, Fachruddin Alkahiri, Ir. Indera Tjahja, Ir. Tjoa, Prof. S.M. Abidin, dan yang lainnya, mereka dari A.M.S. (Algemen Middelbare School), T.H.S. (Technisch Hooge School). Adapun guru-guru yang mengajar agama diantaranya Ustadz Soelaeman Abu Su’ud, KH.E. Abdurrahman dan Ustadz A. Hassan, yang memberikan pelajaran agama pada malam hari sebagai pelajaran tambahan yang diselenggarakan oleh Pemuda Persatuan Islam. Adapun guru melukis dan musik ialah Nurdin dari Kayutaman (Sumatera Barat).
Pada hari pertama upacara penerimaan murid-murid baru antara lain yang memberikan sambutan adalah Muhammad Natsir. Ia menjelaskan tentang ideologi pendidikan Islam (Het Islamietisch Paedagogische Ideal). Diantara ucapannya yang melekat kuat di ingatan Rusyad Nurdin adalah:
“Mentauhidkan Tuhan, mempercayai dan menyerahkan diri kepada Allah adalah merupakan dasar pendidikan kita. Besar bahayanya kalau dasar ini kita tinggalkan dan akan menimbulkan malapetaka baik bagi perorangan maupun bagi bangsa kita serta ummat manusia.”
Ceramah itu disajikan dalam bahasa Belanda yang pasih dan lancar. Rusyad Nurdin merasa heran, kenapa ia tidak bisa memahami bahasa Belanda yang disampaikan langsung oleh guru-gurunya yang orang Belanda, yang mengajar di Voorklas MULO Gubernemen, tapi justru ia mudah memahami bahasa asing itu dari lidah orang Indonesia dalam hal ini “Meneer” Natsir. Rupanya faktor kepribadian seorang guru amat besar pengaruhnya dalam pendidikan. Rusyad Nurdin mengikuti ceramah itu dengan penuh perhatian.
Isi ceramah Pak Natsir waktu itu lebih ditekankan kepada pembinaan akhlak (karakter-vorming). Manusia dinilai menurut akhlaknya dan agama (Islam) merupakan dasar yang kuat untuk pembinaan akhlak itu.
Guru muda (25 tahun) yang berpendidikan barat itu berbicara tentang Islam. Pada wajahnya tergambar satu keyakinan akan kebenaran agamanya, dengan tidak menghiraukan isme-isme yang bertebaran di sekelilingnya. Dengan segala daya yang ada dalam dirinya ia berusaha menarik semua orang yang hadir di hadapannya kepada keyakinan agama Islam yang benar:
“Mari, mari penuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya, jika kita dipanggil-Nya kepada sesuatu yang memberi “hidup” kepada kita. Bukan hanya hidup sekedar bernafas dan bergerak, berpikir dan berkarya, tetapi hidup dalam arti kata yang sesungguhnya, yaitu hidup Ruh dan hidup Jiwa! Sekalipun raga sudah tidak bergerak dan kaku, tetapi ruh masih tetap hidup dalam kebahagiaan yang tiada taranya.
Kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan akhirat.”
Dari sekian banyak yang hadir, Rusyad Nurdin termasuk orang yang ikut tertarik oleh kata-kata syarat makna Bapak Persis itu. Dari ucapan M. Natsir itulah, Rusyad menjadi tahu untuk apa ia belajar!
Dengan tekun dan semangat belajar yang baik, Rusyad Nurdin pun berhasil menyelesaikan studinya di MULO “Pendis” tersebut. Semangat belajarnya masih menyala di dadanya. Dan ia berniat melanjutkan studinya ke tahap yang lebih tinggi.
Setelah tamat dari MULO ia melanjutkan studinya ke Kweekschool Pendis (1936). Di sini ia mempelajari berbagai ilmu pendidikan Islam diantaranya ilmu dakwah, Pedagogi (ilmu pendidikan), psikologi (ilmu jiwa). Pelajar di Pendis ini amat menarik perhatiannya. Pada tahun 1938 dalam usia 20 tahun, ia dapat menyelesaikan pendidikannya.
Selama belajar di Pendis, Rusyad Nurdin menyempatkan diri untuk bergabung dalam organisasi Pemuda Persatuan Islam. Ia menjadi sekretaris Pimpinan Pusat. Disamping itu ia juga aktif di organisasi Jong Islamiten Bond, suatu organisasi pemuda-pemuda Islam yang pada umumnya berpendidikan barat. Mereka mengeluarkan majalah bulanan berbahasa Belanda Het Licht (an-Nur) yang didalamnya antara lain terdapat tulisan-tulisan Syafruddin Prawiranegara, Prawoto Mangkosasmito, Mohammad Roem, Kasman Singodimejo, Sjamsoeridjal, M. Natsir. Majalah itu menyajikan tulisan-tulisan yang membakar semangat terutama generasi muda untuk melawan penjajah Belanda.
Terjun ke Tengah Masyarakat
Ada saat datang, ada saat pergi. Rusyad Nurdin selesai melaksanakan pendidikan di Pendis dalam masa 5 tahun. Selanjutnya ia harus terjun ke tengah masyarakat guna mengamalkan ilmunya.
Berat hati ia meninggalkan Pendis, dimana disitu ia sudah dianggap keluarga oleh Pak Natsir dan Bu Natsir. Dalam hatinya ia ingin tetap tinggal di situ lebih lama lagi.
Kakak iparnya, D.P. Sati Alimin rupanya berkirim surat kepada Pak Natsir. Isi suratnya meminta kepada Pak Natsir supaya Rusyad Nurdin jangan dilepas dahulu, jika dibolehkan ia bisa membantu mengajar di Pendis agar mendapat pengalaman berharga. Usul itu direspon baik, dan Rusyad Nurdin diterima mengajar di HIS Pendis. Kepala sekolahnya Bu Natsir, yang dahulu biasa ia panggil Mevrouw Natsir atau Mevrouw Nurnahar. Anak-anak didik keduanya biasa juga memanggil mereka dengan Abah dan Ummi.
Rusyad Nurdin diberi tugas mengajar di kelas 5 HIS ada yang lucu dalam pandangannya, dimana dulu pada saat sekolah MULO ia paling tidak suka bahasa Belanda, kini ia diserahu tugas mengajar bahasa Belanda. Tapi ia menikmati tugasnya itu.
Pada tahun 1940 telah terjadi perubahan pada Pendis, yaitu MULO dijadikan Kweekschool 4 tahun dan Rusyad Nurdin sempat pula mengajar di Kweekschool itu sampai perguruan itu bubar pada waktu pendudukan Jepang tahun 1942.
Disamping mengajar, Rusyad Nurdin ikut pula terjun ke dunia politik ikut bergabung dalam Partai Islam Indonesia (PII), yang pusatnya di Yogyakarta. Ketua umumnya dr. Sukiman Wirjosanjojo. Ketua PII cabang Bandung adalah Muhammad Natsir. Pada saat itulah Risyad Nurdin mulai belajar masalah-masalah politik. Ia sangat bersemangat menerjuni dunia politik ini, karena memang pada waktu itu tugas utama dari perjuangan ialah membebaskan Indonesia dari penjajahan kolonial Belanda.
Dalam usia 20 tahun, Rusyad Nurdin sudah mulai berdakwah dan memberikan ceramah. Tugas ini dilakukannya hingga akhir hayatnya. Bersama-sama KHM. Isa Anshari, ia menerbitkan majalah bulanan Laskar Islam dan Aliran Islam.
Ba’ bujang jolong berkeris
Di Bandung terdapat sekolah MOSVIA, yaitu sekolah untuk calon Camat. Pada tanggal 17 Januari 1940 murid-murid MOSVIA merayakan hari ulang tahun sekolah mereka yang ke 61. Perayaan itu dimeriahkan dengan mengadakan pertunjukan-pertunjukan, bertempat di gedung Concordia (sekarang gedung Merdeka). Setelah pertunjukan tarian, nyanyian selesai, acara dilanjutkan dengan acara dansa semalaman sampai dini hari.
Tentu perbuatan mereka telah merusak citra mereka di mata kaum muslimin Indonesia sebagai calon-calon pemimpin rakyat. Atas inisiatif Pemuda Persatuan Islam, maka organisasi-organisasi pemuda Islam di Bandung mengadakan suatu pertemuan untuk membentuk satu Komite, yaitu Komite Pembela Kesopanan. Tugas pertama komite ini ialah mengadakan rapat umum (Openbare Vergadering) untuk mengupas persoalan dansa dilihat dari segi agama dan perjuangan bangsa.
Rapat diadakan pada tanggal 4 Februari 1940 bertempat di gedung Himpunan Saudara di jalan Dalem Kaum. Rusyad Nurdin sendiri yang diserahi amanat sebagai pimpinan rapat.
Perhatian masyarakat ternyata luar biasa. 44 organisasi mengirimkan utusan, 7 orang dari wakil pers dan tidak ketinggalan pejabat-pejabat pemerintah, terutama dari Dinas Kepolisian dan Politik.
Pembicara-pembicara yang menyampaikan ceramah adalah Aly Hoesein (NU), dr. Murjani, Muhammad Natsir, Bupati Bandung RAA. Wiranatakoesoemah.
Apa yang disampaikan oleh para pembicara mendapat sambutan luar biasa dari hadirin, terutama pembicaraan Muhammad Natsir. Antara lain ia berkata dengan membawakan argumen Raden Ajeng Kartini berkenaan dengan kesopanan Timur dan Barat:
“Kalau sekiranya arwah Raden Ajeng Kartini melihat kepada perdansaan sekarang ini tentu beliau akan menyesalinya, karena bertetangan dengan angan-angannya, yang telah dibukakan orang itu.
Pemuda bangsa kita menjadi Pak Tiru karena rasa rendah diri (minderwaardigheids-gevoel), merasa diri lebih rendah dari bangsa lain. Rasa rendah diri yang berpengaruh dalam jiwa ibu dan bapak, menyebabkan mereka tidak sanggup menahan anak-anak mereka menjadi Pak Tiru seperti melakukan perdansaan ini.”
Dalam usia 23 tahun, Rusyad Nurdin dan kawan-kawannya berhasil mengadakan rapat yang luar biasa besar dan hasil yang sangat memuaskan. Rasa bangsa sebagai pemuda Islam bertalu-talu di dada mereka, seperti kata pepatah: Ba’ bujang jolong berkeris.
Masa Pendudukan Jepang dan Perjuangan Bersenjata
Masa pendudukan Jepang di Indonesia merupakan masa yang penuh penderitaan. Bangsa Indonesia mengalami kerugian manusia dan kerugian materi.
Untuk menentang penjajah baru ini, ada kelompok yang melakukan gerakan bawah tanah ada juga yang melakukannya secara terang-terangan dan terbuka. Yang mengambil langkah bawah tanah ternyata banyak yang tertangkap oleh penjajah Jepang, karena kurangnya menjaga rahasia.
Rusyad Nurdin memilih menjadi ustadz di Pesantren Persatuan Islam. Selain itu, ia aktif memberi pelajaran pada Pendidikan Kader Dakwah, yang diadakan oleh organisasi Majelis Islam di bawah pimpinan Muhammad Natsir. Ia juga aktif mengumpulkan pelajar-pelajar Sekolah Lanjutan Atas untuk diberi pendidikan agama.
Saat itu, Rusyad Nurdin tinggal di mesjid bersama adik sepupunya Lukman El-Hakim, yang datang ke Bandung mengikuti jejaknya, yaitu belajar di sekolah Pendis.
Akhirnya pada tahun 1945, Jepang menyerah pada tentara sekutu. Kesempatan ini tidak disia-siakan para pemimpin bangsa untuk menentukan sikap. Atas nama seluruh rakyat Indonesia, Bung Karno dan Bung Hatta mengumumkan kemerdekaan seluruh Indonesia ke seluruh nusantara pada tanggal 17 Agustus 1945.
Namun Belanda ingin kembali menguasai tanah Indonesia. Sejak mereka kembali menginjakan kaki di bumi pertiwi, rakyat Indonesia langsung mengadakan perlawanan. Pertempuran terjadi dimana-mana.
Para pemuda Indonesia tidak kaku lagi memegang senjata berkat latihan yang mereka dapat selama pendudukan Jepang (tiga setengah tahun). Inilah mungkin rahmat terselubung (a blessing in disguise) dibalik pendudukan Jepang bagi warga negara Indonesia.
Rusyad Nurdin menggabungkan diri dengan pasukan Hizbullah di bawah pimpinan Sultan Husinsyah. Setelah Bandung diduduki Belanda, pasukan mundur ke Bandung Selatan, kemudian ke Garut dan akhirnya ke Tasikmalaya. Setelah Tasikmalaya diduduki pula oleh Belanda, pasukan pun bermarkas di Gunung Galunggung.
Di situlah Rusyad bertemu dengan Daty binti Abdurrahim yang kemudian menjadi istrinya. Buah pernikahan itu, mereka dianugerahi 15 anak. Mereka adalah Hayati Chairiyah, Saifullah, Chalidah, Fauziah, Muchlisah, Chudriyah, Syafrullah, Chairul Bariyah, Amarullah, Faaizah, Hilda Fadilah, Syarifah, Mufidah, Munadian Yunadi, dan Fadlullah.
Sampai tahun 1948 ternyata perlawanan pahlawan-pahlawan nasional kian hari kian terdesak, sehingga akhirnya Republik Indonesia hanyalah Yogya dan sekitarnya. Ini pun tidak bisa bertahan lama, Jendral Spoor menyerbu ke Yogyakarta, banyak para pemimpin bangsa yang ditahan dan dibuang ke Bangka. Tamatkah riwayat Indonesia? Tidak!
Sebelum Bung Karno dan Bung Hatta serta pemimpin-pemimpin lain dibawa ke tempat pembuangan mereka, sempat menyerahkan pimpinan perjuangan selanjutnya kepada putera Indonesia Syafruddin Prawiranegara dari Masyumi sebagai Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berkedudukan di Sumatera Barat. Pengakuan Belanda bahwa Indonesia sudah diduduki dibantah oleh Syafruddin melalui radio ke seluruh dunia. Disamping itu perjuangan diplomatik terus dilakukan oleh Sutan Syahrir dari PSI dan Haji Agus Salim “The Grand Old Man” dari Masyumi di forum internasional, yang kebetulan berada di luar negeri. Perang diplomatik ini disertai dengan perang gerilya yang dipimpin Panglima Besar ABRI Jenderal Sudirman. Kolonel Suharto memperlihatkan kepada dunia luar bahwa tentara RI masih ada dengan melakukan penyerbuan ke Yogyakarta dan mendudukinya selama 6 jam.
Akhirnya Dewan Keamanan PBB memaksa Belanda supaya berunding dengan RI. Belanda menunjuk Van Royen sebagai utusannya dan dari Indonesia diwakili Mohammad Roem. Muhammad Roem tidak mau berunding sebelum Bung Karno dan Bung Hatta serta pemimpin-pemimpin lainnya dikembalikan ke Yogyakarta. Tuntutan Indonesia ini terpaksa dikabulkan oelh Belanda, sebab perundingan harus dilakukan dalam suasana duduk sama rendah, tegak sama tinggi. Konon kejadian ini katanya sangat menyakiti hati Jenderal Spoor yang telah berusaha sekuat tenaga untuk menghapus RI dari muka bumi ini, dan ia pun melakuan bunuh diri sebagai bentuk kekecewaannya. Satu siasat politik dari Mohammad Roem yang memang dikenal sebagai sorang diplomat yang ‘canggih’.
Perundingan antara Roem dengan Royen ini ini melahirkan Roem Royen Statement, dengan diadakannya Konferensi Meja Bundar di Belanda di bawah pimpinan Muhammad Hatta.
KMB melahirkan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan presidennya Bung Karno dan Wakil Presidennya Muhammad Hatta dengan kedudukan di bawah Ratu Juliana dari Belanda. Ini tidak sesuai dengan keinginan bangsa kita.
Namun itulah hasil maksimal yang bisa dicapai dalam perundingan KMB. Sudah tentu perjuangan tidak berhenti di situ, RIS adalah batu loncatan untuk perjuangan selanjutnya. Waktu terus berjalan, diselingi oleh pertempuran-pertempuran dan perjuangan diplomatik, akhirnya cita-cita bangsa Indonesia tercapai dengan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1950 dan diakui oleh seluruh dunia.
Masa Pemerintahan Orde Lama
Pada masa pemerintahan orde lama, Rusyad Nurdin lebih banyak bergerak di bidang politik. Ia bergabung dengan Partai Masyumi, dan menjadi anggota Pimpinan Masyumi Jawa Barat dan juga menjadi Anggota Dewan Partai Masyumi, instansi ke-2 sesudah Muktamar.
Waktu DPRD Sementara dibentuk (1950) Rusyad Nurdin termasuk anggotanya. Setelah Pemilihan Umum Pertama (1955), Ketua DPRD Jawa Barat, Tb. Djaja Rachmat berhenti, karena terpilih menjadi anggota parlemen, maka ia terpilih menggantikannya sebagai ketua. Tetapi jabatan itu hanya sebentar didudukinya, sebab ia pun terpilih menjadi anggota Konstituante.
Selama berjuang di dunia politik, Rusyad Nurdin merasa prihatin dengan cara orang-orang PKI dalam memperjuangkan ideologinya. Mereka menghasut, memfitnah, menteror, lempar batu sembunyi tangan dan akhlak-akhlak tidak terpuji lawannya demi meraih cita-cita mereka.
Oleh karena itu pada tahun 1955, para Pimpinan Masyumi Jawa Barat mendirikan Barisan Front Anti Komunis. Alasannya sangat kuat sekali:
1. Orang-orang komunis adalah manusia-manusia yang anti Tuhan dan membenci agama.
2. Larangan agama (Islam) untuk mengadakan kerja sama dengan mereka (an-Nisa: 140).
3. Mereka anti Pancasila
4. Mereka menentang UUD 1945.

Tujuannya:
1. Karena banyak kaum Muslimin yang tertipu menjadi anggota PKI maka dirasa perlu untuk menjelaskan kepada mereka tentang bahaya ideologi komunis bagi agama, bangsa dan negara.
2. Kalau perlu dibentuk satu barisan, yang akan menghadapi orang-orang PKI secara fisik.

Tetapi karena kelihaian mereka berjuang dengan menghalalkan segala cara dan karena kelengahan kaum Muslimin, orang-orang PKI berhasil mendekati dan mempengaruhi Bung Karno. Hanya dalam masa 15 tahun setelah pemberontakan Madiun, dengan bantuan Bung Karno mereka bangkit kembali dan dapat menguasai situasi politik di Indonesia pada waktu itu.
Pada tahun 1959, atas perintah Bung Karno, beberapa pimpinan Masyumi ditahan, mereka yaitu M. Rusyad Nurdin, Tb, Djaja Rachmat, M. Sape’I, M. Djerman Prawiradinata, dan Dadun Abdul Qohar.
Penahanan tersebut dilaksanakan di Bandung oleh Panglima Divisi Siliwangi, Brigadir Jendral M. Kosasih. Dalam suratnya Brigjen M. Kosasih, meminta mereka datang ke Markas Siliwangi untuk ‘membicarakan sesuatu’.
Setelah mereka berlima berkumpul, maka Panglima mengatakan bahwa dia mendapat perintah untuk menahan mereka. Ia tidak menempuh jalan mengambil mereka dari rumah masing-masing, tetapi jalan yang ditempuhnya itu adalah cara yang dianggap baik terhadap orang-orang politik, “Saya minta maaf kepada saudara-saudara,” katanya, “sebab apa yang saudara alami sekarang ini berbeda dengan isi surat saya.”
Lalu kelimanya dipersilahkan pulang untuk memberi tahu keluarga dan mempersilahkan diri dengan segala apa yang diperlukan, dan kemudian kami diminta datang lagi ke Markas Siliwangi, sebab mereka akan diantar ke Jakarta sekitar pukul 10.00.
Pukul 10.00 mereka dibawa ke Jakarta dan langsung menuju Rumah Tahanan Militer di Jalan Budi Utomo. Mereka tahanan Jaksa Agung dan mereka diperlakukan dengan baik. Setelah shalat Zhuhur dan Ashar (jama’ ta’khir) serta makan siang, kira-kira pukul 16.00 mereka langsung diperiksa secara terpisah.
M. Rusyad Nurdin diperiksa oleh seorang hakim. Setelah ditanya identitas diri dan sebagainya, ia lalu ditanya apa sebabnya ditahan. Rusyad Nurdin menjawab, “Tidak tahu.” Lalu ia diperlihatkan sehelai selebaran, yang isinya sebuah petisi (permohonan) kepada Bung Karno selaku Presiden Republik Indonesia yang kami tanda tangi berlima. Isi petisi itu ialah permohonan kepada Presiden Republik Indonesia supaya beliau memperhatikan kembali sumpah jabatannya sebagai Presiden, akan mentaati UUD 1945 dengan sepenuhnya. Kenyataannya Bung Karno menempatkan dirinya di atas UUD 1945 dan dengan hanya ‘Keputusan Presiden’ hampir tiap-tiap pasal itu dilanggarnya. Selanjutnya isi petisi itu ialah memohon kepada Bung Karno, supaya mengehntikan kerja sama dengan PKI.
Banyak pertanyaan yang diajukan, dan semuanya dijawab dengan terus terang dan lugas. Tiada rasa takut yang membayangi Rusyad Nurdin, karena ia yakin perbuatannya benar menurut agama dan menurut UUD 1945. Sewaktu ditanya mengapa anti komunis? Ia menjawabnya dengan terus terang.
“Islam adalah agama wahyu, agama Allah, ajarannya bertujuan rahmatan lil ‘alamiin (rahmat bagi seluruh alam) dan meliputi segala segi kehidupan manusia, politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya.
Ada satu sikap dari seorang Muslim di bidang politik, yang tidak begitu dipahami dengan baik. Yaitu, apabila seorang politikus Muslim menyampaikan kritik terhadap pemerintah, pada umumnya sikap yang demikian itu dianggap sebagai usaha menyudutkan pemerintah atau satu usaha untuk menjatuhkannya. Kritik yang demikian sifatnya tidak ada dalam kamus Islam. Dalam Islam kritik itu ialah amar ma’ruf nahyi munkar.
Apabila seorang pemimpin sudah terpilih dan diangkat, maka merupakan satu keharusan bagi setiap Muslim untuk membantunya dalam melakukan tugasnya supaya berhasil dengan sukses, dan bantuan itu meliputi nahyi munkar, menyelamatkan pemimpin itu dari kesalahan, supaya negara dan bangsa terhindar dari malapetaka.
Sabda Rasulullah SAW., :
“Kalau kamu melihat pemimpinmu berbuat kesalahan yang kamu benci, maka yang kamu benci itu ialah amalnya (bukan orangnya).” (Muslim).
“Selamatkan saudaramu yang berbuat salah itu!” (al-Hadist).
Jelaslah bahwa pemimpin yang bersalah itu bukanlah musuhmu, tetapi saudaramu, yang harus kamu selamatkan. Bukankah ini suatu cara yang amat indah dalam mengurus dan mengemban amanat rakyat.
Kita manusia adalah makhluk yang lemah. Sewaktu-waktu bisa saja berbuat salah.
Selanjutnya Nabi bersabda:
“Janganlah sekali-kali engkau membenci orang durhaka (hidup mewah hasil kecurangan yang dilakukannya). Sesungguhnya engkau tidak tahu kemana jadinya orang ini pergi sesudah matinya, karena sesungguhnya di belakangnya ada yang mengejarnya untuk menuntutnya.” (Bukhari dan Muslim)
Apabila seorang Muslim menegor atau memberi peringatan kepada saudaranya yang hidup serakah, itu bukan karena iri hati, bukan pula karena marah atau benci, tetapi didorong oleh rasa kasihan, sebab pasti orang yang hidup serakah itu akan menanggung azab di akhirat nanti sepanjang masa dan dalam keadaan tidak hidup tidak mati. Dan seharusnya orang yang mendapat peringatan itu bersyukur, karena masih ada saudaranya yang mencintainya dan yang memberi peringatan kepadanya.”
Setelah mereka berlima selesai diperiksa, maka pada hari ke-11 mereka dipulangkan ke Bandung dengan status tahanan rumah selama 10 hari dan tahanan kota sekitar satu bulan.
Setelah habis tahanan rumah, Rusyad Nurdin dan M. Sape’i, sebagai anggota Konstituante dapat menghadiri sidang-sidang kembali.
Waktu terus berjalan sampai terjadilah sesuatu di luar perkiraan. Presiden Sukarno membubarkan Konstituante, yang dibentuk atas kemauan rakyat Indonesia, dan setelah itu giliran Masyumi yang dipaksa membubarkan diri.
Masyumi yang bersama-sama dengan partai-partai lain dan tentara bahu membahu memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia harus bubar!
Masyumi yang menuntut PKI dibubarkan malah sebaliknya ia yang dibubarkan. Bergembiralah orang-orang PKI karena hal ini.

Kehilangan Wadah
Setelah Masyumi tidak dapat lagi melakukan tugasnya, maka otomatis warga Bulan Bintang kehilangan wadah tempat berjuang di bidang politik. Pada saat itu, M. Rusyad Nurdin kembali ke dunia pendidikan, bersama-sama Prof. Soemardja, Prof. H.A. Sadali, KHE. Zainal Muttaqien, Abdullah Dahlan, Aban Sobandi dan lain-lain, mereka membangun kembali PIT (Perguruan Islam Tinggi) karena sudah lama terhenti. PIT inilah yang di kemudian hari menjelma menjadi Universitas Islam Bandung (Unisba). Tujuan utama didirikannya perguruan tinggi ini adalah untuk melahirkan ulama intelek dan intelek ulama.
Sejak tahun 1960 atas anjur-mula dosen-dosen ITB antara lain Prof. Tb. M. Sulaeman M.Sc. EE. Prof, Ahmad Sadali dan lain-lain telah diadakan Shalat Jum’at di ITB dan M. Rusyad Nurdin menjadi Khatib yang rutin mengisinya. Mula-mula ibadah Jum’at ini dihadiri 20 orang, yang bertempat di sebuah ruangan kecil di Aula Barat (yang sekarang menjadi Mesjid Salman), lama-lama jumlahnya kian meningkat banyak.
Pada tahun 1962 setelah keluar instruksi dari Menteri PDK supaya di sekolah-sekolah tinggi di berikan kuliah agama, maka pelopor pelaksana pertama di ITB adalah Prof. Tb. M. Sulaiman. Ia dan beberapa dosen ITB lainnya, meminta M. Rusyad Nurdin agar bersedia menjadi dosen agama di ITB. Namun, Rusyad Nurdin menolak permintaan itu, ia terlalu merendah dengan alasan merasa kurang tepat untuk menjadi dosen agama. Lewat sepucuk surat dari Mohammad Natsir, akhirnya Rusyad Nurdin bersedia mengajar sebagai dosen agama.
Isi surat Mohammad Natsir itu adalah:
“Saudara Rusyad, saya mendengar kabar bahwa saudara diminta untuk memberi kuliah agama di ITB. Kenapa saudara tolak? Terimalah permintaan kawan-kawan itu. Sangat besar manfaatnya, paling sedikit:
1. Saudara akan terdorong untuk lebih mendalami ilmu agama.
2. Saudara tentu akan berusaha pula memperlihatkan kebenaran ajaran Islam melalui amal dan perbuatan sehari-hari sebagai contoh bagi mahasiswa-mahasiswa.
3. Mudah-mudahan dengan jalan itu anak-anak kita di ITB akan terpelihara agama mereka.”
Setelah ia menerima surat Muhammad Natsir itu, maka ia menyiapkan diri untuk menjadi seorang dosen agama di ITB disamping sahabat-sahabatnya, Kolonel Abdjan Solaeman dan A. Latif Aziz.
Pekerjaan sebagai dosen agama itu digelutinya selama 25 tahun.


Pesan M. Rusyad Nurdin Bagi Generasi Penerus
“Berusahalah menghadapi setiap peristiwa dengan tenang! Ada kejadian yang menyenangkan dan ada pula yang menyedihkan. Itulah permainan hidup dan ia datang silih berganti. Di waktu gembira kita bersyukur dan di waktu bersedih kita bersabar.
Jangan sekali-kali menyesali apa yang telah terjadi. Ia tidak lepas dari takdir Allah SWT.
“Tiada musibah yang menimpa kita melainkan apa yang telah ditakdirkan oelh Allah bagi kita. Dialah pelindung kita dan kepada Allah-lah hendaknya orang-orang yang beriman berserah diri!” (a-Taubah: 51)
Kata orang tua kita: “Walau pun bagaimana keadaan, jangan berhenti tangan mendayung!
Kalau air deras berpindahlah ke pinggir supaya diri jangan dibawa hanyut oleh arus. Dan jangan mencari-cari orang tempat melemparkan segala kesalahan, terutama pemimpin-pemimpin yang terdahulu. Mereka sudah melakukan tugas, berjuang dan berkorban. Tiada ada tanda-tanda atau bukti-bukti yang menunjukan, bahwa mereka berjuang untuk kepentingan pribadi.
“Pahala baginya atas usaha yang telah dilaksanakannya dan ‘azab baginya atas ma’siat yang telah dilakukannya!”
Waktu bagi kita adalah waktu sekarang! Mari kita dengarkan nasihat Syauqie Bey:
“Kukuhkan pendirianmu dalam hidup ini,
Dengan semangat perjuangan dan pengorbanan
Yang dinamakan hidup ialah ‘aqidah, keyakinan,
Serta tabah dan sungguh-sungguh dalam perjuangan!”

Nabi kita Muhammad SAW., menganjurkan kepada kita supaya kita hidup seperti seekor lebah. Lebah adalah seekor binatang yang ringan badannya. Dimana ia hinggap, sekali pun di atas ranting yang kecil, ranting itu tidak pernah patah. Ia hinggap di tempat yang bersih, memakan makanan yang bersih. Kemudian segala apa yang dimakannya, setelah melalui proses dalam tubuhnya, dikeluarkannya kembali berupa madu, makanan yang enak dan sehat bagi umat manusia. Inilah yang dinamakan hidup rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam).
Jangan hidup seperti seekor lalat! Binatang yang selalu memakan makanan najis, dan setiap saat mengeluarkan penyakit dimana-mana.
Karena itu jauhkan diri dari enam perkara, yaitu perbuatan-perbuatan maksiat yang amat merugikan ummat manusia sebagaimana kita temui dalam hadist Rasulullah SAW.,:
“Ada enam perkara yang aku laknat, dilaknat oleh Allah dan dilaknat oleh tiap Nabi yang doanya didengarkan Allah, yaitu:
- Orang yang menambah-nambah AL-Quran, mengubah agama.
- Orang yang mendustakan takdir Allah.
- Orang yang memperhambakan diri kepada orang dzalim, pendurhaka.
- Orang yang memuliakan siapa yang hina dalam pandangan Allah dan menghina
siapa yang mulia dalam pandangan Allah.
- Orang yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah.
- Orang yang meninggalkan sunnah Nabi. (Tirmidzi, Al-Hakim”
Mari kita usahakan diri kita jauh dari perbuatan yang dilaknat itu untuk keselamatan kita, terutama di akhirat nanti. Semoga Allah membantu kita! Amin Ya Rabbal ‘alamin!”
Read More..

Selasa, 11 Januari 2011

Komentar Tentang KH. Latif Muchtar


Pendapat Amin Rais Tentang KH. Latief Muchtar

KH Abdul Latief Muhtar seorang ulama yang ikhlas, seorang ulama yang rendah hati dan telah berjuang sepanjang hidupnya untuk kejayaan islam dinegri ini. Secara pribadi saya sangat dekat dengan almarhum. Pernah bepergian ke RRC dalam sebuah rombomgan. Kemudian, setiap kali ada rapat ICMI maupun rapat Dewan Dakwah juga sering bertemu dan bertukar pikiran.

Buat saya, ada tiga hal yang mencuat dari kehidaupan almarhum itu. Pertama, ketawaduh'an, kerendahan hati beliau. Beliau sebagai seseorang yang 'alim, yamg mempunyai ilmu agama yang cukup banyak tidak sedikitpun menampakkan rasa kibir atau kesombomgan. Beliau seseorang yang betul-betul rendah hati. Seperti kata pepatah, yaitu padi yang makin berusi makin menunduk. Saya kira, itulah Pak Abdul Latief Muhtar.


Kedua, dalam soal kederhanaan. Saya kira, semua orang mengakuinya. Beliau bukan ulama yang mudah terpaku atau silau oleh keduniaan. Jadi, sejauh yang saya ketahui, ketika ketemu di Bandung, Jakarta, dan luar negri, maka kesederhanaan itu nampak sekali sebagai watak beliau yang sangat menonjol.

Dan ketiga, saya kira, kecintaannya kepada umat yang dipimpinnya itu junga sudah menjadi pengetahuan bersama. Beliau meminpin jami'iyah Persis itu dengan segala pengabdian dan ketekunan. Dan karena itu dengan kontek ini saya benar-benar berharap bahwa seperti kata pepatah, patah tumbuh hilang berganti. Mudah-mudahan dikalangan Persis ada pengganti beliau yang bisa meneruskan langkah-langkah perjuangan almarhum.

Saya juga sering kenal dengan tokoh-tokoh Persis baik yang tua maupun yang muda. Menurut saya, tidak pernah sedikit pun ada genjalan pisikologis. Mereka mendambakan ukuwah islamiah secara ikhlas. Dan baik pinpinan persis yang ada di Bandung dan Bangil mau pun d itempat-tempat lain saya juga sering bertemu. Dan saya rasakan gelombang mau pun frekwensi kejiwaan mereka-mereka itu sama dengan Muhammadiyah.


Komentar Djamaluddin Zuhri Siradj, LC.
(Teman akrab sesama mahasiswa Indonesia di Mesir tahun 1950-an)

Kesan saya tentang beliau waktu di Mesir, saya datang di Mesir tahun 1955. dan beliau datang hampir 2 tahun sesudah saya. Beliau ditampung oleh kementrian P dan K Mesir, yaitu PTIP. Kemudian saya sebagai teman yang lebih dulu datang di Mesir sering berkunjung ke kawan-kawan yang baru datang dari tanah air untuk melimpahkan kekangenan pada tanah air. Dan mereka yang baru datang sering minta pengarahan untuk minta pengalaman-pengalamannya kepada kami-kami yang sudah dulu datang sebagai kakak atau saudara tua di luar negeri.

Ternyata uztadz Latief orangnya lembut, mudah dan suka menerima pendapat orang lain, serta tawadhu. Tidak ada sedikit pun gejala congkak atau takabur. Beliau minta pengarahan kepada saya dan pengalaman-pengalaman. Saya masih ingat betul lemah lembutnya karena itulah yang menonjol benar.

Setiap ketemu dengan saya dan teman-teman, beliau itu ngunduh (memetik), ngangsu (menimba), tidak terus ngguroni (menggurui), ini yang menonjol dari beliau, yaitu tidak suka menggurui. Sampai akhirnya beliau menjadi pimpinan Persis, betul-betul menuangkan dari sumur ilmunya.

Beliau itu orang yang lugu, tidak suka ngakali, minteri mau pun suka bengak-bengok atau teriak-teriak. Tingkah laku yang tidak patut itu ndak ada sama sekali pada dirinya. Dia betul-betul luas, lugu, tetapi juga luwes. Beliau itu khusuk. Jadi memang patutlah kalau di tanah air dia menjadi pemimpin karena memang sudah pada tempatnya.

Mungkin karena dia ingin segera memimpin umatnya, maka beliau kok memilih perguruan tinggi swasta yang cepat, yaitu di Dirosat Islamiyah di Syari'ah Syiroodhiyah di mana Prof. Dr. Harun Nasution juga sekolah di situ. Dan mereka sudah merampungkan pelajarannya sebelum kami dan lalu pulang ke tanah air. Sedangkan Harun Nasution terus melanjutkan ke Kanada.

Begitu saya dengar beliau menjadi pimpinan Persis di Bandung, saya merasa bahagia sekali karena merasa ada teman berjuang. Dan disitu yang saya garis bawahi mengenai fatwa tentang bunga atau rente di bank hasil deposito. Di sini Abdul Latief Mukhtar konsisten dengan apa yang diterima di Mesir. Sebab ulama di Mesir semuanya mengharamkan rente bank seberapa kecil pun. Sedang yang menghalalkan bunga deposito bank, baik bank swasta maupun bank negara, itu hanya Farid Wajhi dan Rasyid Ridha. Sedangkan yang mayoritas seluruhnya menolak rente sedikit maupun yang banyak itu haram.

Begitu saya mengetahui fatwanya begitu, saya girangnya bukan main. Karena tentu saja yang disampaikannya itu persis sama dengan ilmu yang saya terima di Mesir.Juga mengenai bersatunya Persis Bangil dengan Persis Bandung di bawah Abdul Latief Mukhtar, girang saya tambah luar biasa lagi. Apalagi dengan sudah adanya bank syariah di Indonesia, maka tidak ada alasan lagi untuk menghalalkan bunga bank, baik sedikit maupun yang banyak.

Semangat menuntut ilmunya tampak betul. Kalau memang semangat menuntut ilmunya tidak ada, tentu setelah merasa terlalu lama di universitas tentunya pulang saja atau bekerja di kedutaan, tetapi beliau tidak. Beliau masuk sekolah swasta yang sesuai dengan cita-citanya, yaitu dirosan Islamiyah dengan Islamic Studi spesialisasinya. Setelah mendapat ijazah, baru pulang. Itu namanya penuh semangat ditandai dengan sampai merampungkan studinya.

Read More..

TEROBOSAN DAN PEMIKIRAN KH. LATIEF MUKHTAR


1. Dalam malasah Perang Teluk, gagasannya membela Kuwait dan siap mengirimkan tentara sukarela di pihak kerajaan Arab Saudi untuk membela tanah Haramain, menjadi sebuah karya jihad yang patut dicatat sejarah.

2. Saat mengikuti seminar OKI di Libya, Ustadz Latief mengusulkan agar OKI segera mempunyai tentara. Pendeknya OKI harus menjadi kekuatan militer yang menentukan, agar tidak menjadi bulan-bulan negara besar dan hanya tunduk untuk didikte.

3. Pada sebuah acara Seminar Nasional Bahasa Arab yang diselenggarakan Universitas Padjajaran Bandung, KH. Latief Mukhtar MA., tampil sebagai pembicara. Ia mengingatkan pemerintah Indonesia agar segera merealisasikan kesepakatan negara-negara OKI untuk mendirikan Universitas Islam bertaraf internasional. Sampai sekarang untuk wilayah Asia Tenggara, mungkin baru Malaysia yang mewujudkannya.


4. Dalam masalah tragedi Bosnia-Hercegovina, Ustadz Latief menyerukan membaca do'a kunut nazilah. Ia mengungkapkan bahwa Syeikh Ahmad Ghazaly dari Mesir telah memfatwakan kepada Muslim Bosnia agar tidak meninggalkan tempat tinggalnya untuk mengungsi, seraya mengutif perkataan Syeikh Ghazaly: "Lebih baik mati sebagai syuhada daripada mengungsi dari kampung halaman, bisa-bisa nasibnya tidak akan berbeda dengan warga Palestina yang tidak mempunyai tempat tinggal dan terkatung-katung sampai kini"

5. Ustadz Latief pada tahun 1990 melakukan terobosan dengan menggelar Muktamar X Persatuan Islam di Garut, 6-8 Mei 1990 secara terbuka. Itulah muktamar terbuka pada masa Orde Baru, setelah muktamar yang berlangsung di Bandung 1968. Pejabat pemerintah diundang dalam pembukaan muktamar itu. Hal ini sempat menimbulkan kekhawatiran kader Persis tentang kemungkinan adanya intervensi kekuatan eksternal dalam kehidupan jam'iyyah. Namun, Ustadz Latief tetap tegar, dan membuktikan tidak adanya campur tangan luar dalam muktamar tersebut. "Persis mandiri, tetapi tidak mengisolasi diri", begitu tekad yang dikumandangkannya.

6. Sejak menggantikan kepemimpinan almarhum KH. E. Abdurrahman pada 21 April 1983, Ustadz Latief mendapat banyak kepercayaan dari Mohammad Natsir (ketika itu Presiden Mu'tamar Alam Islami) dalam forum-forum Islam internasional, khususnya yang berkaitan dengan masalah syariah. Pemberian kepercayaan kepada ustadz Latief memang cukup beralasan. Selain penguasaannya pada ayat-ayat tanziliyah, pengalamannya bertahun-tahun di Timur Tengah jelas mendukung penugasan dari Pak Natsir (yang kala itu dicekal sehingga tidak dapat ke luar negeri).

7. Saat memimpin Persis, ustadz Latief banyak membina hubungan dengan organisasi-organisasi Islam baik yang ada di dalam negeri maupun yang ada di luar negeri. Ia berkiprah di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Forum Silaturahmi Cendekiawan Muslim Jawa Barat, Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI), dan Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI).

8. Ustadz Latief turut berkiprah dalam dunia politik melalui Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ini diawali dengan kesediannya menjadi anggota Majelis Pertimbangan Partai tersebut, dan berlanjut dengan terpilihnya beliau menjadi anggota DPR/MPR RI dari partai berlambang bintang itu untuk daerah pemilihan Jawa Barat. Ijtihad politiknya ini mendapat tantangan cukup keras dari kader-kader Persis yang trauma dengan politik. Ustadz Latief bersiteguh dengan ijtihadnya itu, karena yakin yang dilakukannya itu merupakan perjuangan, sekaligus untuk mendidikan anggotanya agar tidak menjadi penakut. "Saya masuk dengan membawa misi. Kalau tidak sesuai, ya gampang tinggal keluar." Kata beliau memberikan alasan.

9. Abdul Latief Mukhtar konsisten dengan kelompok yang mengharamkan rente bank seberapa kecil pun.

10. Saat memimpin Persis, KH. Latief Mukhtar berhasil menyatukan Persis Bangil dengan Persis Bandung.

11. KH. Latief Muhktar berhasil memasyarakatkan panggilan diantara jamaah Persis dengan panggilan ikhwatu iman berdasarkan ayat yang berbunyi, "innamal mu'minuna ikhwatun yang dijabarkan oleh sunnah Rasulullah Saw. Bahwa diantara sesama muslim adalah kal-jasadil wahid.
Read More..

KH. LATIEF MUKHTAR, MA.



Hayat, Perjuangan dan Visi
KH. LATIEF MUKHTAR, MA.
Dadan Wildan Annas

Abdul Latief, itulah nama kecilnya, dilahirkan di Garut pada tanggal 7 Januari 1931 dari pasangan H. Mukhtar dan Hj. Memeh. Ia merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Ia berasal dari kalangan sederhana. Ayahnya seorang pedagang tembakau dan ibunya sehari-hari berjualan nasi di sekitar Cihampelas. Melalui didikan ayahnya yang taat beribadah, sejak kecil Latief telah dididik menjadi muslim yang taat. Pada usia enam tahun, Latief memasuki jenjang pendidikan di Lembaga Pendidikan Islam (Pendis) yang didirikan oleh jam'iyyah Persis di bawah binaan Muahammad Natsir, kemudian melanjutkan pendidikan di pesantren Persis yang baru berdiri pada tanggal 4 Maret 1936 sebagai pengganti Pendis, dengan memasuki pesantren kecil (setingkat Ibtidaiyah) di bawah bimbingan ustadz Abdurrahman, ustadz Sudibja, dan ustadz Komarudin Shaleh. Dengan demikian, sejak dini Latief telah dipengaruhi oleh nuansa gerakan pembaharuan Islam dalam jam'iyyah Persis yang kemudian ia tampil sebagai ketua umumnya selama 14 tahun.

Abdul Latif menghabiskan pendidikan masa kecil dan masa remajanya di bangku Pesantren Persis, sejak tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah, hingga selesai tingkat Mualimien (setingkat SMU) pada tahun 1952, dan ia termasuk santri masa revolusi yang mengenyam pelajaran di tempat pengungsian di daerah Gunung Cupu Ciamis dibawah asuhan ustadz Abdurrahman. Selain di Persis, ia pun pernah mengenyam pendidikan di pesantren Darul Latief di Garut. Sebagai seorang yang mempunyai intelektualitas tinggi dan mampu membaca peluang, ketika belajar di Mualimien Persis, Latief pun mengikuti ujian persamaan di SMP Muhammadiyah (1951) dan bisa melanjutkan studi di MAN 3 Bandung hingga lulus pada tahun 1953. Pada masa remaja inilah, jenjang pendidikan intelektualitas dan keulamaannya di tempuh; ia sekolah rangkap di SMAN 3 dan di Mualimien Persis. Dan pada masa remaja ini pula, Latief telah terlibat dalam aktivitas organisasi dengan menjadi ketua Rijalul Ghad (RG), yakni organisasi para santri pria di pesantren Persis (1951-1952).

Latief muda, pada tahun 1961 mempersunting Aisyah Wargadinata, mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Padjajaran kelahiran Tasikmalaya 21 September 1936. namun, karena masih berada di Mesir dan belum bisa pula ke Indonesia, Latief melakukan hal yang tidak biasanya bagi pemuda Indonesia, ia melakukan "nikah wali". Setelah pernikahan wali itu, Aisyah yang masih duduk di tingkat dua Fakultas Hukum Unpad pada tahun 1962 menyusul suaminya dan melanjutkan studi pada Kulliatul Banaat (fakultas khusus wanita) Universitas Al-Azhar Kairo dengan mengambil spelialisasi bidang syari'ah. Dari perkawinannya dengan Aisyah Wargadinata, Latief dikaruniai tiga anak lelaki, mereka adalah Irfan, Iman dan Ikhsan. Setelah kembali ke Indonesia, Latief bersama istrinya, Aisyah, mengabdikan diri sebagai dosen pada beberapa perguruan tinggi Islam di Bandung.

Jenjang pendidikan yang ditempuh Latief nampaknya belum cukup, ia melanjutkan studi program magister (S2) pada Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan selesai pada tahun 1984, kemudian berusaha untuk meraih gelar doktor dengan mengikuti (S3) di IAIN Syarif Hidayatullah, namun belum sempat di selesaikan karena kesibukannya sebagai Ketua Umum Persis dan Allah Swt, memanggilnya.

Selesai menamatkan pelajarannya di pesantren Persis dan SMAN 3 Bandung, ia melanjutkan studi pada Sekolah Tinggi Hukum dan Pengetahuan Masyarakat di Jakarta, tetapi hanya bertahan dua tahun saja, karena ia menganggap tidak memperoleh tambahan ilmu. Latief bercita-cita untuk melanjutkan studi di luar negeri. Dengan kemampuan bahasa Arab dan Inggris, ia "terjun bebas" ke Mesir pada bulan Oktober 1957 untuk melanjutkan studi Starata 1 (S1) di Darul Ulum (1962), ia melanjutkan studinya pada Ma'had Dirasah Islamiyah (institute of islamic studies) selama dua tahun, hingga selesai pada tahun 1964. Rekan kuliahnya saat itu antara lain almarhum K.H. Ahmad Azhar Basyir (mantan ketua umum PP. Muhammadiyah). Untuk bertahan hidup di Kairo, Mesir, ia bekerja di Kedutaan Besar Republik Indonesia. Ketika bekerja di KBRI ini, ia mempunyai banyak kesempatan untuk bertemu dengan para mahasiswa Indonesia, sehingga ia pun bersama Ibrahiem Husein (yang kemudian menjadi guru besar IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat, mendirikan Himpunan Pelajar Pemuda Indonesia (HIPPI) dan ia terpilih sebagai sekretaris mendampingi Ibrahim Husein sebagai ketua.

Atifitasnya sebagai pendidik ditekuninya setelah pulang dari Kairo, Latif menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi, antara lain dosen Agama Islam di ITB (1971-1974), Dosen Ilmu Tafsir dan bahasa Arab di IAIN Sunan Gunung Jati Bandung (1974-1994), kemudian menjabat sebagai Pembantu Rektor IAIN Sunan Gunung Jati selama dua priode, juga dosen dan dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Bandung (1970-1974), dan terakhir menjabat sebagai Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin (STIU) Persis-sekarang Sekolah Tinggi Agama Islam Persis/STAIPI (1990-1993).

Pigur Pembaharu Persis

Sebagai orang yang dididik dan dibesarkan di lingkungan Persis, Latief terlibat aktif dalam organisasi Persis ketika masih remaja melalui organisasi Pemuda Persis, organisasi otonom di bawah Persis.

Aktivitasnya dimulai sebagai anggota pemuda Persis ketika ia masih duduk di bangku Mualimien, kemudian pada Muktamar ke-II Pemuda Persis 17-20 Septeber 1953 bertepatan dengan Muktamar Persis ke V, Latief terpilih sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Persis masa jihad 1953 – 1956. namun, tidak lama kemudian karena kesibukannya mempersiapkan diri untuk melanjutkan studi ke Kairo, ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua Umum PP. Pemuda Persis, dan posisinya digantikan oleh Yahya Wardi yang menjabat Ketua I PP. Pemuda Persis. Sejak Oktober 1957, ia telah berada di Kairo dan tidak lagi aktif dalam jam'iyyah Persis.

Sepulangnya dari Kairo pada tahun 1970, Latief kembali lagi berkiprah dalam jam'iyyah Persis sebagai anggota, pendidik, dan pendakwah. Aktivitasnya di Pusat Pimpinan Persis dimulai ketika ia diberi amanah untuk menggantikan posisi Ustadz Yunus Anis yang meninggal dunia pada tanggal 23 Mei 1972 sebagai Sekretaris Umum PP. Persis. Melalui musyawarah lengkap PP. Persis tanggal 2 April 1973 diputuskan bahwa jabatan Sekretaris Umum PP. Persis Periode 1967-1981 di bawah kepemimpinan Ustadz Abdurrahman dilimpahkan kepada H. Abdul Latief Mukhtar, MA.

Langkah yang membawanya ke pucuk pimpinan Persis adalah ketika ia terpilih sebagai ketua I PP. Persis pada Muakhot tanggal 16 – 18 Januari 1981 di Bandung mendampingi KH. E. Abdurrahman sebagai ketua umum. Dua tahun kemudian, pada hari Kamis, tanggal 21 April 1983, Ustadz Abdurrahman meninggal dunia, dan posisi ketua umum digantikan oleh Ustadz Latief sebagai pejabat Ketua Umum hasil musyawarah lengkap PP. Persis tanggal 1 Mei 1983 yang memutuskan melimpahkan jabatan Ketua Umum kepada Ketua I PP. Persis, H. Abdul Latief Mukhtar, MA. Hingga Muktamar ke X di Garut (6-8 Mei 1990), ia terpilih sebagai Ketua Umum PP. Persis untuk masa jihad 1990 – 1995. dan terpilih kembali pada Muktamar Persis ke XI di Jakarta (2-4 September 1995) untuk masa jihad 1995-2000.

Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum PP. Persis, Ustadz Latief mulai memegang amanah sebagai pejabat Ketua Umum dengan melanjutkan visi dan strategi ustadz Abdurrahman. Pada masa awal kepemimpinannya, dengan rendah hati ia mengatakan bahwa apa yang dilakukannya hanyalah melanjutkan cita-cita dan idealisme Ustadz Abdurrahman. Bahkan pada pidato pertanggungjawabannya sebagai Ketua Umum Persis pada Muktamar ke X di Garutr ia mengatakan bahwa "Yang saya pertanggungjawabkan ini sebagian adalah termasuk amal almarhum ustadz Abdurrahman.

Masa awal jabatannya sebagai Ketua Umum Persis, Ustadz Latief dihadapkan pada kegoncangan jam'iyyah Persis ketika berhadapan dengan Undang-undang No.8 Tahun 1985 dimana semua organisasi kemasyarakatan (ormas) di Indonesia harus mencantumkan al-asasul Wahid sebagai asas dalam anggaran dasar organisasinya. Peraturan inilah yang menjadi ujian pertama bagi Ustadz Latief untuk mengendalikan roda jam'iyyah tanpa terperangkap dalam jebakan politis.

Persoalan yang berkaitan dengan asasul wahid ini dihadapi dengan visi dan pemikiran Ustadz Latief yang akomodatif. Sebab, bagaimana pun jam'iyyah Persis berada dalam posisi di persimpangan jalan; turut pada aturan pemerintah atau sebuah keyakinan. Ustadz lafiet mencoba menjembatani persoalan ini dengan baik. Ia tidak meresponnya secara besar-besaran pada muktamar, melainkan dengan pendekatan persuasif melalui pertemuan-pertemuan dari tingkat Pusat Pimpinan hingga ke tingkat Pimpinan Cabang, pertemuan dengan para anggota Dewan Hisbah, serta pembicaraan yang bersifat siasah dengan para pengurus Persis. Hasilnya, Persis bersedia memasukan asasul wahid dalam Qanun Asasinya sebagai sebuah siasah perjuangan. Karenanya, Persis tetap bertahan sebagai sebuah jam'iyyah yang mempunyai siasah dan arah perjuangan yang jelas tanpa erpecahan.

Persoalan ideologis telah berhasil diatasi pada masa awal kepemimpinannya. Setelah itu, ia memunculkan visi pembaharuannya dalam berbagai bidang, antara lain bidang jam'iyyah, dakwah, pendidikan, ekonomi, pembangunan fisik, dan tentu saja respon terhadap berbagai persoalan umat melalui berbagai pernyataan yang dikeluarkannya, serta meningkatkan kinerja Dewan Hisbah sebagai lembaga tertinggi pengkajian hukum Islam di lingkungan Persis untuk memperbanyak kajian hukum terhadap berbagai persoalan kontemporer yang perlu dicari landasan hukum dan pemecahannya.

Dalam bidang jam'iyyah, Ustadz Latief bertekad untuk mejadikan organisasi Persis yang dipimpinnya tetap mandiri tanpa mengisolir diri, dalam arti, Persis tidak mengikatkan diri pada kekuatan lain sekalipun ia membuka diri. Ustadz Latief berusaha menampilkan Persis sebagai gambaran mini dari bunyaanul mukmin yang menopang satu sama lain (yasyaddu ba'dlukum ba'dlan), dan memasyarakatkan panggilan diantara jamaah Persis dengan panggilan ikhwatu iman berdasarkan ayat yang berbunyi, "innamal mu'minuna ikhwatun yang dijabarkan oleh sunnah Rasulullah Saw. Bahwa diantara sesama muslim adalah kal-jasadil wahid. Dengan kebijakannya inilah, Latief Mukhtar dikenal sebagai tokoh keterbukaan dalam jam'iyyah.

Dalam bidang dakwah, ia telah memberikan warna baru dalam dinamika peta dakwah di Indonesia, Persis tidak lagi tampil dalam gebrakan-gebrakan shock therapy tetapi mengubah metode dakwahnya melalui pendekatan persuasif edukatif. Persis tidak lagi "garang" dan "manantang", tetapi berusaha mencari jelas; bukan mencari puas. Garapan dakwah pun tidak terbatas pada rutinitas dakwah di kalangan anggota dan simpatisannya, tetapi bercita-cita untuk mengembangkan objek dakwah ke dalam lingkungan masyarakat kampus. Baginya, kampus adalah lembaga intelektual yang harus dirangkul dan diisi dengan materi dakwah yang tepat. Sebab, ternyata di kalangan mahasiswa terdapat kecenderungan kuat untuk belajar Islam lebih intensif. Tidak heran, jika ia sering mengisi berbagai aktifitas dakwah di kampus, baik melalui ceramah umum, diskusi-diskusi, maupun forum seminar. Demikian pula ia mendukung sepenuhnya pembentukan organisasi otonom mahasiswa Persis di berbagai perguruan tinggi dalam satu wadah Himpunan Mahasiswa dan Himpunan Mahasiswi Persis sebagai tempat berkiprah para mahasiswa Persis di lingkungan perguruan tinggi.

Jika Persis kini tampak low profile, tidak segalak dulu terutama pada era debatnya A. Hassan, ini tdk lepas dari kepeminpinan Ustadz Latif. Pada masa kepeminpinannya, Persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada masanya yang lebih realistis dan keritis. Dakwah Persis tidak lagi mencari kepuasan, tetapi mencari kejelasan. Artinya, dakwah harus disajikan secara argumentatif, baik dilihat secara nash berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits, maupun secara akal. Namun dalam hal fiqih ibadah, pendirian Persis tetap tak pernah berubah, sampai sekarang Persis berpendirian tegas, namun dengan pendekatan yang lebih luwes. Setrategi dakwah yang dianut Ustadz Latif meneruskan tradisi Ustadz Abdurahman yang bersifat cenderung mengajak, dan bukan mengejek.

Dalam bidang ekonomi, pemikoran Ustadz Latif telah menjurus kearah pemberdayaan umat Islam dengan tujuan meningkatkan kesejahtrsan umatsekaligus menghindari umat Islam dalam praktek bisnis dan dunia perbankan yang masih menggunakan sistem bunga konvensional . Sebab, menurut Ustadz Latif, masalah perbankan sesungguhnya tidak terlepas dari persoalan hukum, yang terikat dengan kebutuhan dan perekonomian umat. Ia kemudian merintis pendirian Bank PerkreditanRakyat (BPR) sebab sebuah bentuk Bank Islam tanpa bunga. Ia duduk sebagai komisaris BPR Amanah Robbaniah, yang menerapkan sistem bank tanpa bunga sebab salah satu upaya untuk menghindarkan diri dari sikap sekular dalam kehidupan ekonomi.

Sebagai orang yang dibesarkan di lingkungan pesantren persis dan juga sebagai seorang pendidik, Ustadz Latif menekankan pentingnya peningkatan kualitas dan kuantitas pesantren Persis yang tersebar di seluruh Indonesia. Visi Ustadz Latif adalah mencetak kader-kader ulama Persis yang handal. Untuk itu, ia berusaha keras untuk meningkatkan jenjang pendidikan yang ada dilingkungan Persis tidak hanya sebatas pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, melainkan meningkatkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan mendirikan perguruan tinggi Persis.

Cita-citanya mendirikan perguruan tinggi persis terlaksana dengan lahirnya Pesantren Luhur pada tahun 1988 yang kemudian mengalami beberapa menyesuayan nama antara lain Pondok Pesantren Tinggi (PPT), kemudian Sekolah Timggi Ilmu Ushuluddin (STIU), dan terakhir Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Persis dengan dua jurusan, yakni jurusan dakwah dan tafsir hadits, dimana ia tampil sebagai Dekannya. Kebahagiaan terpancar, ketika buah dari cita-cita dan pemikirannya mendirikan perguruan tinggi berhasil melukiskan para sarjana agama Islam dari STAIPI pada saat wisuda perdana pada tanggal 28 juli 1997. Ia berkata lirih; "akhirnya berhasil juga, dan tiba saatnya wisuda satjana mahasiswa STAIPI".

Didirikannya perguruan tinggi Persis jurusan Dakwah dan Tafsir Hadis, menurut Ustadz Latief didasari oleh kebutuhan tenaga da'i yang menguasai bidang dakwah, baik secara teoritis maupun praktis dan mampu mengaktualisasikannya kepada masyarakat baik dalam bentuk lisan dan tulisan. Selain itu juga, Persis perlu juga mempersiapkan tenaga-tenaga mufassir dan muhadist yang handal dan mampu mengembangkan penafsiran secara tekstual, kontekstual, dan aktual serta menguasai metodologi ilmu hadits.

Tidak hanya itu, visi Ustadz Latief telah jauh melampau batas-batas keulamaannya, tiga minggu sebelum beliau wafat, di kantor PP Persis ia masih sempat membicarakan pendirian Universitas Ahmad Hassan, sebuah universitas Persis yang berbasis agama dan pengembangan teknologi, dengan terlebih dahulu mendirikan Sekolah Tinggi Teknologi Pengukuran (STTP) Ahmad Hasan jurusan Fisika dengan spesialisasi instrumentasi dan teknologi syariah Islam, serta jurusan metrologi dan pengendalian mutu. Cita-citanya untuk mencetak kader-kader ilmuwan muslim sejati nampaknya merupakan sebuah "wasiat" yang perlu ditindaklanjuti.

Melalui jalinan hubungan internasionalnya yang rapat, Ustadz Latief bekali-kali melakukan kunjungan ke negara-negara Timur Tengah dalam proses pencarian dana untuk membangun sarana dan prasarana fisik umat Islam, khususnya bagi jam'iyyah Persis. Melalui usahanya ini, telah banyak dibangun mesjid-mesjid megah yang tersebar di cabang-cabang Persis melalui dana bantuan masyarakat dari negara-negara Timur Tengah, antara lain Kuwait dan Saudi Arabia.

Kiprahnya di dunia internasional, bagi Ustadz Latief merupakan ungkapan solidaritas dan ukhuwah Islamiyah antar sesama muslim di seluruh dunia, baik melalui forum Organisasi Konferensi Islam (OKI) maupun Majlis Ta'sisi Rabithah 'Alam Islami (Moslem World league). Ia telah banyak menjalin hubungan dan ikatan solidaritas diantara seluruh kaum muslimin di seluruh dunia. Sebagai contoh, Persis yang dimotori Ustadz Latief telah menunjukan rasa solidaritasnya terhadap nasib umat Islam seluruh dunia, misalnya dengan mengeluarkan pernyataan solidaritas waktu terjadi Perang Teluk dan pernyataan keprihatinan serta sekaligus membuka pendaftaran untuk menjadi sukarelawan perang Bosnia. Demikian pula, melalui forum Organisasi Konferensi Islam (OKI), Ustadz Latief seringkali hadir dan memberikan sumbangan pemikiran dalam organisasi ini, misalnya ia pernah mengusulkan untuk membentuk tentara OKI sebagaimana tentara PBB guna menghadapi bentrokan senjata yang dihadapi umat Islam serta sebagai penengah apabila terjadi pertentangan di dunia Islam.
Dalam aktivitas politik praktis, langkah yang ditempuh Ustadz Latief adalah kesediaannya untuk tampil sebagai politikus melalui partai PPP. Kesediannya ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan jamaah Persis. Tetapi cita-cita luhur dan idealisme perjuangan untuk menegakan Islam melalui peta dakwah yang lebih luas, telah memantapkan langkahnya. Dan ia tampil atas nama dirinya, bukan dalam sebagai Ketua Umum PP. Persis. Ia pantang menyerah meskipun menghadapi tantangan bagi idealisme yang diyakininya. Sebuah cita-cita yang pasti mengandung resiko perjuangan adalah hasratnya yang kuat untuk mengembangkan dakwah Islamiyah melalui langkah-langkah konstitusional. Hal ini dimaksudkan dalam rangka mengembangkan dakwah pembangunan di Indonesia, sesuai dengan aspirasi masyarakat dan umat. Ia mengecam jika para politikus yang tampil mewakili para rakyat itu hanya datang, duduk, dengar, dan mendapat duit, tetapi ia menginginkan agar setiap wakil rakyat dapat menjalankan amanah umat dengan baik. Sebuah idealisme dari seorang ulama politikus.

Dalam usia 60-an, Ustadz Latief masih tetap energik dan aktif. Ia aktif dalam berbagai organisasi keislaman. Di luar Persis, ia aktif antara lain sebagai anggota presidium Forum Dakwah Islamiyah, anggota Pleno DDI Pusat, anggota Dewan Penasehat ICMI Pusat, anggota Majelis Pertimbangan Partai di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), serta anggota Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kodya Bandung.

Sebagai seorang ulama intelektual, Ustadz Latief telah berhasil membawa Persis ke arah pembaharuan pemikiran Islam seirama dengan kondisi sosial politik yang terus berubah. Bagaimanapun Ustadz Latief telah menorehkan catatan sejarah tersendiri bagi umat Islam pada umumnya. Sebab, menurut Ustadz Latief sendiri dalam kata pengantar buku yang saya tulis. Sejarah Perjuangan Persis 1923-1983, beliau menulis;

"Kenyataan rentang waktu berabad-abad dalam sejarah bangsa Indonesia tidak terlepas dari peran umat Islam, zuama, dan organisasi-organisasi serta lembaga-lembaga Islam, yang akhirnya secara kuantitas umat Islam menduduki kedudukan mayoritas di negeri tercinta ini. Kini timbul kesadaran merata pentingnya meningkatkan kualitas SDM dalam segala aspek kehidupan. Selanjutnya sejarah tidak dimulai dari nol, tetapi merupakan rentetan peristiwa sebelumnya, lalu berkembang dan berkelanjutan. Sejarah umat Islam sebagaimana sejarah umat lainnya tunduk kepada hukum sejarah, juga sesuai dengan hukum Allah; mengalami pasang dan surut, dan kondisi ini sangat tergantung atas situasi dan kondisi lingkungan sekitarnya dan juga tergantung pada para pelaku sejarah."

Dalam hayat, perjuangan, dan visinya, ustadz Latief telah membuktikan sendri pernyataannya. Ia adalah seorang ulama pelaku sejarah yang telah memainkan peran penting dalam upaya mengembalikan umat kepada Alquran dan Sunnah, menegakan ukhuwah islamiyah; dan berperan aktif dalam pembangunan nasional dan hubungan internasional hayat dan perjuangannya menjadi teladan bagi kaum muslimin.

Pesan Almarhum
Sebelum wafat, almarhum tidak memberikan pesan-pesan moral atau wasiat kepada keluarga maupun jamaah Persis. Sebab, pada Selasa malam tanggal 30 September 1997, ketika sedang menginap bersama calon anggota DPR/MPR lainnya di Hotel Sahid Jakarta dalam rangka persiapan upacara pengambilan sumpah sebagai anggota DPR/MPR, ustadz Latief terserang penyakit jantung dan tidak sadarkan diri, karenanya langsung dilarikan ke ruang ICCU RSPAD Gatot Subroto Jakarta. Hingga pukul 22.37 hari Ahad tanggal 12 Oktober 1997 Allah SWT., memanggilnya. Padahal rencananya, almarhum mendapat tugas dari LPU mewakili kelompok Islam untuk menandatangani sumpah anggota DPR/MPR RI periode 1997-2002 sebagai sebuah kehormatan besar. Akan tetapi, Allah mentakdirkan pilihan yang terbaik untuknya.

Meski tidak memberikan pesan-pesan dan wasiat khusus, jika kita membuka kembali catatan yang berisi pesan-pesan almarhum, kita akan menemukan salah satu pesan almarhum melalui wawancara dengan majalah Risalah No. 8 Th.XXXIII bulan Oktober 1995 pasca Muktamar ke XI di Jakarta. Dalam wawancara itu kita seolah-olah mendapat wasiat terakhir dari almarhum yang ditujukan kepada seluruh jemaah Persis, aparat pemerintah dan kaum muslimin.

Ustadz Latief berpesan, "Pesan saya kepada warga Persis, baik anggota maupun simpatisan, agar memandang kebijaksanaan pimpinan dengan pemahaman yang benar, dengan melihat aspek menyeluruh dari ajaran Islam (syumuly). Jangan cepat menyimpulkan menyimpang dari atsar yang dulu secara sempit. Sebab dulu memang kemampuan kita baru sampai di sana. Kemudian kalau ada yang kurang jelas difahami, tanyakan langsung… dan jangan meyebar isu-isu yang negatif. Saya mengajak semuanya, kalau memang mencintai jam'iyyah ini, mari kita bina bersama dengan penuh kedewasaan, sehingga bisa menyikapi berbagai masalah yang berkembang dewasa ini secara proporsional. Bukankah prinsip seorang mukminin harus menempatkan al-walaa dan al-baraa secara proporsional. "alhubbu fil-Lah wal bughdu fil-Lah (mencintai dan membenci hanya karena Allah semata-mata.

Dalam hubungan ke ummat Islam yang kita dakwahi, kita harus memakai pendekatan yang luwes. Penting juga kita memperhatikan pesan ustadz Abdurrahman yang berkata, "yang penting jelas tidak harus puas."

Dengan membalas cacimaki oranglain ke kita, mungkin kita bisa puas, namun dakwah yang kita sampaikan malah jadi tidak jelas karena orang lain sudah o priori terhadap kita. Jadi, kita harus mencoba mengamalkan "dakwah bil hikmah" agar penyampaian kita sedapat mungkin diterima pendengar. Tanpa meninggalkan prinsip kita yang tegas dalam masalah hukum.

Kepada umat Islam pada umumnya, saya harap tidak lagi trauma terhadap Persis. Persis adalah lembaga formal yang telah diakui sebagai ormas nasional, dan pendekatan dakwahnya sekarang sudah dalam fase pembinaan dan pemupukan. Kalau dulu dinilai "keras" karena itu diperlukan dalam fase gebrakan (shock therapy). Oleh karena itu fahamilah terlebih dahulu isi dakwah yang kami sampaikan, baru silahkan menilai secara objektif.

Kepada pemerintah, khususnya aparat pemerintah di daerah, kami tidak ingin mendengar lagi adanya oknum yang mempersulit gerak organisasi Persatuan Islam, sebab itu berarti tidak mewakili jabatannya sebagai aparat pemerintah. Pemerintah Pusat Indonesia melalui Mendagri sudah menyatakan penerimaannya terhadap ormas Persis dan menghargai hasil usahanya. Jadi, kami minta pemerintah daerah termasuk tingkat kecamatan sampai RT pun dapat bekerjasama lagi dengan kami yang turut andil dalam pembangunan bangsa ini.."

Pesan-pesan pemimpin kharismatik itu perlu direnungkan dalam-dalam. Sebab, kini ia tidak lagi memberikan ceramah yang menyejukan, mengeluarkan fatwa, mengkritik, dan membuat pernyataan keprihatinan terhadap tindakan yang melecehkan umat Islam. Perjalanan terakhirnya menuju gedung DPR/MPR di Jakarta menyimpan obsesi yang belum sempat diwujudkan; memberikan kontribusi politis untuk menyuarakan aspirasi umat Islam dan meningkatkan kesejahteraan bagi rakyat yang diwakilinya. Belum sempat ia melangkah, Allah memanggilnya di RSPAD Jakarta dalam usia 66 tahun.

Dari RSPAD Gatoto Subroto Jakarta, Senin 13 Oktober 1997 dinihari pukul 02.00 jenazah diberangkatkan menuju Bandung dan tiba di rumah duka Jl. Lengkong Besar Gg. Ancol Utara I No.44/36 D Bandung pukul 05.30 WIB, dan disemayamkan disana hingga pukul 08.00. setelah itu jenazah dishalatkan di mesjid Persis Jl. Pajagalan no. 14 Bandung. Ribuan pelayat melakukan shalat jenazah dan mengantarkannya ke pekuburan Cijeungjing Buah Batu Bandung pukul 10.00 pagi, hari Senin, 10 Oktober 1997.

Matahari masih belum tegak lurus ketika Ketua Umum PP. Persis K.H. Abdul Latief Mukhtar, MA diturunkan ke liang lahat. Dalam suasana kesederhanaan, sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw., tanpa karangan bunga, tanpa kumandang suara adzan, tanpa penyiraman bunga di atas pusara, apalagi tembakan salvo, jenazah anggota DPR/MPR RI ini, dan aktivis organisasi nasional maupun internasional itu dimakamkan di samping kuburan almarhum K.H.E. Abdulah di kompleks pemakaman muslim Cijeunjing-Ciganitri Buah Batu Bandung.
Read More..